MANAJEMEN
SUMBER DAYA INSANI
Manajemen
sumber daya insani konsen terhadap pengaturan aktivitas dan hubungan
antarkaryawan. Mereka diharapkan mampu menunjukkan kinerja yang optimal. Para karyawan
mampu meningkatkan kompetensi dan kemampuan teknis guna merealisasikan tujuan
yang telah ditetapkan dalam perencanaan. Kegiatan manajemen sumber daya insani
adalah seputar penentuan aktivitas karyawan, seleksi calon karyawan, pelatihan
dan pengembangan karyawan serta semua aktivitas lain terkait dengan awal masuk
karyawan hingga masa pensiun.
Sebagaimana
telah dibahas, falsafah Islam memandang tugas kenegaraan sebagai tanggung jawab
masing-masing individu. Untuk itu, tugas awal yang harus dilakukan pemimpin
adalah seleksi calon pegawai guna menempati pos-pos pekerjaan pemerintahan yang
telah ditetapkan. Pemilihan karyawan merupakan aktivitas kunci untuk menentukan
jalannya sebuah perusahaan atau negara. Maka, para pemimpin harus selektif
dalam memilih calon pegawai, mereka adalah orang yang berkompeten, memiliki
pengetahuan luas, rasa tanggung jawab dan dapat dipercaya (amanah).
Seleksi
calon karyawan merupakan persoalan krusial. Hal ini pernah diisyaratkan oleh
Rasulullah dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari (Shahih Bukhari) dari Abu
Hurairah. Rasulullah bersabda: “ketika
engkau menyia-nyiakan amanah, maka tunggulah kehancuran. Dikatakan, hai
Rasulullah, apa yang membuatnya sia-sia? Rasul bersabda, “Ketika suatu perkara
diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran”
Mekanisme
Pengangkutan Pegawai
Kepatutan
dan Kelayakan (Fit and Proper)
Islam
mendorong umatnya memilih calon pegawai berdasarkan pengetahuan, pengalaman dan
kemampuan teknis yang dimiliki. Hal ini sesuai dengan dirman Allah: “Karena
sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita)
ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” (Al-Qashas [28]: 26).
Pemahaman
kekuatan disini bisa berbeda sesuai dengan perbedaan jenis pekerjaan, kewajiban
dan tanggung jawab yang dipikulnya. Ibn Taimiyah mengatakan, “Definisi kekuatan
berbeda berdasarkan ruang yang melingkupinya. Kekuatan dalam medan perang bisa
diartikan sebagai keberanian nyali untuk berperang, pengalaman perang dan
kekuatan taktik atau strategi perang karena perang adalah taktik atau strategi,
serta kemampuan untuk melakukan bermacam pembunuhan. Kekuatan dalam sistem
peradilan dikembalikan pada pengetahuan terkait dengan keadilan yang
ditunjukkan Alquran dan Hadis, serta kemampuan untuk menerapkan berbagai hukum.
Amanah
merupakan faktor penting untuk menentukan kepatutan dan kelayakan seorang calon
pegawai. Hal ini bisa diartikan dengan melaksanakan segala kewajiban sesuai
dengan ketentuan Allah dan takut terhadap aturan-Nya. Selain itu, melaksanakan
tugas yang dijalankan dengan sebaik mungkin sesuai dengan prosedurnya, tidak
diwarnai dengan unsur nepotisme, tindak kezaliman, penipuan, intimidasi, atau
kecenderungan terhadap golongan tertentu.
Calon
pegawai harus dipilih berdasarkan kepatutan, kelayakan. Persoalan ini pernah
diingatkan Rasulullah dalam sabdanya: “Barang siapa mempekerjakan orang karena
ada unsur nepotisme, padahal di sana terdapat orang yang lebih baik daripada
orang tersebut, maka ia telah mengkhianati amanah yang telah diberikan Allah,
Rasul-Nya dan Kaum Muslimin. Dalam hadis lain Rasul bersabda: “barang siapa mempekerjakan satu orang
diantara 10 orang, dan dia tahu bahwa di antara mereka terdpat orang yang lebih
utama (patut dan layak), maka ia telah menipu Allah, Rasul-Nya dan kaum
Muslimin secara umum.”
Dalam
Islam, prosesi pengangkatan pegawai harus berdasarkan kepatutan dan kelayakn
calon atas pekerjaan yang akan dijalaninya. Ketika pilihan pengangkatan jatuh
pada orang yang disinyalir memiliki kemampuan, padahal masih terdapat orang
yang lebih patut, layak dan lebih darinya (dari golongan orang-orang
terdahulu), maka prosesi pengangkatan ini bertentangan dengan syariat Islam.[1]
Untuk
menerapkan kaidah kepatutan dan kelayakan dalam pengangkatan pegawai,
Rasulullah pernah menolak permintaan sahabat Abu Dzar untuk dijadikan sebagai
pegawai beliau, karena ada kelemahan. Dalam hadis ini (sebagaimana telah
dibahas sebelumnya), standar pegangkatan pegawai adalah kepatutan dan kelayakan
seseorang untuk memikul tanggung jawab pekerjaan yang akan diwakilkan
kepadanya.
Sebagaimana
diriwayatkan dalam hadis, suatu ketika Paman Rasulullah meminta untuk dijadikan
sebagai pegawai beliau dalam satu wilayah, kemudian Rasulullah bersaba: “Demi Allah, wahai pamanku, aku tidak akan
menyerahkan persoalan ini (pengangkatan pegawai) kepada seorang pun yang
memintanya atau sangat menginginkannya.” Beliau kemudian memberikan nasihat
bahwa jabatan itu bisa menjadi nikmat, tapi bisa berubah menjadi azab.
Begitu
juga dengan sikap yang ditunjukkan oleh Khalifah Umar ketika para sahabat
meminta Ibn Umar untuk dijadikan sebagai pejabat. Ibn Umar dipandang sebagai seorang
yang bertakwa dan mampu bertindak adil. Khalifah Umar menolak untuk
menjadikannya sebagai pegawai, begitu juga menjadi Khalifah setelah
kepemimpinan Khalifah Umar. Sahabat Umar menjelaskan, cukup satu orang saja
dari keluarga Umar r.a yang akan menjalani hisab (perhitungan) di hari akhir
nanti.
Dalam
masa kekhalifahan beliau, ditentukan sebuah kaidah, “Barang siapa mempekerjakan
orang karena ada unsur kecintaan atau kerabat, dan pengangkatannya hanya
berdasarkan unsur tersebut, maka ia telah berkhianat terhadap amanah Allah,
Rasul-Nya dan kaum Mukminin”.
Suatu
ketika Khalifah Umar r.a duduk bersama sahabat lainnya, dan berkata: “Tolonglah
aku wahai penduduk Kufah, jika aku angkat seorang pemimpin yang lembek, maka
akan melemahkannya. Jika aku angkat seorang pemimpin yang kuat dan tegas,
kalian akan melaporkannya. Saya sangat suka jika menemukan orang Muslim, kuat
dan dapat dipercaya, maka akan kau angkat dia sebagai pemimpin kalian.”
Salah
seorang dari sahabat itu berkata: “Demi Allah, akan aku tunjukkan orang yang
kuat, dapat dipercaya dan Muslim.” Sahabat Umar berkata: “Siapa dia?” sahabat
itu berkata: “Abdullah bin Umar.” Khalifah Umar r.a berkata: “Semoga Allah membunuhmu,
demi Allah, saya tidak akan memilihnya.” Kemudian, beliau memilih orang lain
menjadi pegawai.
Dalam
memilih seorang pegawai, beliau senantiasa meminta pendapat dari para sahabat,
bukan hanya berdasarkan pendapat pribadinya. Suatu ketika, Khalifah berkata
kepada para sahabtnya: “Berikanlah isyarat kepadaku, tunjukkanlah kepadaku
orang yang patut untuk aku jadikan sebagai pegawai. Sesungguhnya aku
menginginkan seorang pemimpin. Jika semula ia bukan pemimpin, maka ia seperti
pemimpin mereka. Dan jika ia adalah pemimpin mereka, maka ia adalah bagian dari
mereka”. Para sehabat kemudian mengajukan nama sahabat Ra’i bin Ziyad
al-Haritsi. Sahabat Umar r.a menyetujuinya dan mengangkatnya sebbgai pemimpin.
Umar r.a menyetujuinya dan mengangkatnya sebagai pemimpin. Umar r.a
berterimakasih kepada para sahabat atas saran yang diberikan.
Sahabat
Umar r.a memberikan wasiat kepada Ali, Utsman dan Sa’ad bin Abi Waqqash. “Hail Ali, jika engkau
mengangkat pemimpin untuk mengurusi persoalan manusia, pilihlah dari keluarga
Bani Hasyim. Hai Utsman, jka engkau mengangkat pemimpin untuk mengurusi
persoalan manusia, pilihlah dari snaak kerabatmu.”
Mekanisme
Kepantasan dan Kelayakan
Pembagian
Aktivitas Pekerja dan Urgensinya
Ketika
ingin mengangkat seorang pejabat, Khalifah Umar r.a senantiasa menyediakan
waktu untuk menentukan jenis pekerjaan dan tanggung jawab yang harus diemban
oleh seorang pejabat. Selain itu, Khalifah juga menentukan wewenang atau pun
tanggung jawab terkait dengan jabatan yang akan diberikan. Setelah itu, Khlifah
akan memberikan tanda tangan dan stempel, serta disaksikan oleh beberapa
sahabat Anshar dan Muhajirin.
Sebelum
para pejabat berangkat ke Madinah, kaum Muslimin berkumpul di dalam masjid.
Kemudian, Khalifah membacakan wewenang dan tanggung jawab yang harus dipikul
pegawai tersebut, dan disaksikan oleh kaum Muslimin. Hal ini dimaksudkan agar
para pegawai mengetahui job description secara jelas, serta memahami batasan
wewenang dan tanggung jawab mereka. Selain itu, jika terjadi tindak
penyimpangan, kaum Muslimin yang menjadi saksi bisa memberikan tindak koreksi.
Jika
dianalogkan dengan ilmu manajemen modern, sahabat Umar r.a bisa dinobatkan
sebagai tokoh manajemen. Setidaknya hal ini didukung oleh langkah-langkah yang
ditempuh Umar r.a yang menjalankan proses manajemen. Sebelum mengangkat seorang
pegawai, terlebih dahulu, Khalifah Umar r.a menetukan aktivitas-aktivitas dan
tanggung jawab yang harus diemban oleh calon pegawai. Kemudian, didelegasikan
kepada orang yang berkompeten, untuk menjalankannya. Pengangkatan seorang
pegawai adalah bukan persoalan gampang. Akan tetapi, harus melewati beberapa
tahap seleksi, sebelum menentukan calon pegawai sesuai kompetensinya.
Dalam
kitab “Al-Siyasah al-Syar’iyyah’ Ibn Taimiyah menjelaskan, “yang terpenting
dalam persoalan ini (pengangkatan pegawai) adalah mengetahui yang paling pantas
dan layak. Hal ini bisa disempurnakan dengan mengetahui wilayah dan jalan yang
dimaksudkan untuk menuju ke arah sana. Jika engkau telah mengetahui maksud dan
media (fasilitas) untuk mencapainya, maka sempurnakannlah urusan ini.”[2]
Untuk
mengetahui yang paling patut dan layak menduduki sebuah jabatan, harus
ditentukan maksud dan tujuan dari adanya jabatan tersebut. Kemudian, dipikirkan
bagaimana caranya (menggungakan media, fasilitas) untuk menyempurnakan tujuan
itu. Hal ini bisa dilakukan dengan membuat program-program atau langkah
strategis untuk meraihnya. Dengan demikian, diharapkan bisa menemukan sosok
yang patut dan layak untuk mengemban tanggung jawab sebuah pekerjaan adalah
persoalan pokok (krusial) untuk menemukan calon pegawai yang paling ideal.
Seleksi
Ujian Calon Pegawai
Memberikan
ujian seleksi kepada calon pegawai adalah persoalan asasi (pokok) dalam Islam.
Hal ini setidkanya dicerminkan dari sikap Rasulullah ketika akan mengangkut
Muadz: “Dengan apa engkau akan memutuskan
persoalan hukum?” Muadz menjawab, “Dengan
kitab Allah.” Rasulullah bertanya, “Jika
kamu tidak menemukannya?. “Muadz menjawab: “Dengan sunnah Rasulullah (hadis).” Rasulullah bertanya lagi: “Jika engkau tidak menemukannya juga?” Muadz
menjawab, “Aku akan berijtihad dengan
pendapatku.” Rasulullah bersabda: “Alhamdulillah, Allah telah menolong utusan
Rasulullah menjalankan agama sesuai dengan apa yang diridhai Allah dan
Rsul-Nya.”
Khalifah
Umar r.a tidak akan mengutus seorang gubernur untuk suatu wilayah, kecuali
khalifah telah mengujinya dengan mengajak berdiskusi. Diriwaykan bahwa suatu
ketika Khalifah sedang duduk bercengkrama dengan Ka’ab bin Sur. Kemudian,
datanglah seorang wanita mengadukan persoalan suaminya. Khalifah berkata kepada
Ka’ab, “Putuskanlah persoalan dianatara keduanya.” Khalifah kaget dan takjub
terhadap keputusan yang ditetapkan Ka’ab, dan bekata, “Berangkatlah ke Bashrah
untuk menjadi hakim disana.” Sebelumnya, Ka’ab tidak mengira bahwa dirinya akan
dipilih menjadi hakim di Bashrah.
Pilihan
Merupakan Hasil Selektif Kolektif
Settelah
dilakukan tahapan seleksi pegawai melalui beberapa ujian, Khalifah Umar r.a
selalu bermusyawarah dan meminta pendapat dari para sahabat, ketika akan
menentukan pilihan calon pegawai yang akan mengemban tanggung jawab besar.
Bahkan terkadang, Khalifah memberikan kebebasan dan tanggung jawab pemilihan
pegawai kepada para sahabat setelah memberikan penjelasan tentang karakter
pegawai yang diinginkan.
Hal
ini diindikasikan dengan perkataan Umar r.a kepada para sahabat, “Berikan
isyarat kepadaku, tunjukkan kepadaku orang yang pantas untuk aku jadikan
sebagai pegawai. Sesungguhnya aku menginginkan seorang pemimpin dari kaumnya. Jika
semula ia bukan pemimpin, maka ia seperti pemimpin mereka. Dan jika ia adalah
pemimpin mereka, maka ia adalah bagian dari mereka.” Kemudian, para sahabat
menetukan seseorang sesuai dengan karakter yang dijelaskan, dan Khalifah akan
menentukan pilihannya.
Di
awal perkembangan Islam, jabatan kepegawaian tidak membutuhkan ujian seleksi
bagi calon pegawai tetapi hanya melalui konsensus pendapat para sahabat. Bukan
hanya pendapat pribadi Khalifah atau gubernur. Hal ini bisa dimaklumi, karena
masyarakat Muslim pada saat itu masih relatif kecil. Sehingga, relatif mudah
mengetahui orang-orang saleh yang layak dan patut menjadi pegawai. Ketika
wilayah kekuasaan Islam meluas, khalifah atau gubernur harus tegas dan selektif
dalam memilih calon pegawai. Disamping itu, penentuan pilihan calon pegawai
tidak bisa dilakukan/berdasarkan pendapat indidvidu sehingga akan berpotensi
terhadap penyalahgunaan wewenang dan menentukan orang yang tidak layak.
Pernyataan
Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a kepada Gubernur Mesir Asytar al-Nukhai,
memberikan petunjuk yang jelas tentang mekanisme pemilihan calon pegawai, “jika
engkau ingin mengangkat pegawai, maka pilihlah secara selektif. Janganlah
engkau mengangkat pegawai karena ada unsur kecintaan dan kemuliaan (nepotisme),
karena hal ini akan menciptakan golongan durhaka dan khianat. Pilihlah pegawai
karena pengalaman dan kompetensi yang dimiliki, tingkat ketakwaannya dan keturunan
yang shaleh, serta orang yang memiliki akhlak mulia, argumen yang shahih, tidak
mengejar kemuliaan (pangkat) dan memiliki pandangan yang luas atas suatu
persoalan.”
Jika
wakil masyarakat yang diberikan wewenang dan tanggung jawab untuk memilih calon
pegawai mengalami deadlock, atau tidak mampu menentukan yang paling patut dan
layak diantara calon pegawai. Maka prosesi pemilihan bisa menggunakan metode
pengundian. Ibn Timiyah berkata, “Jika kedua calon memenuhi persyaratan yang
ada, atau takut terhadap salah seorang yang patut diantara keduanya, maka
undilah diantara keduanya. Sebagaimana Sa’ad bin Abi Waqqash melakukan
pengundian diantara para sahabat pada hari ‘Al-Qadishiyah’, ketika mereka
berselisih tentang adzan.”
Prosesi
pemilihan calon pegawai dalam Islam, memiliki beberapa ketentuan yang bersifat
mengingkat. Proses ini diawali dengan menentukan tugas dan tanggung jawab
pekerjaan secara terperinci. Kemudian, dilakukan seleksi terhadap beberapa
calon pegawai yang sedang berkompetisi. Penentuan pemilihan dilakukan oleh
jamaah, karena pendapat dirasa lebih bertanggung jawab daripada pendapat
pribadi dalam menentukan orang yang lebih patut dan layak. Jika terjadi
deadlock, dan terdapat persamaan bobot karakter di antara calon, maka dilakukan
pengundian untuk menentukan pilihan salah satu diantara mereka.
Prosesi
pemilihan calon pegawai yang dilakukan institusi/perusahaan dewasa ini
merupakan pengembangan dan penyempurnaan prinsip-prinsip seleksi di awal
perkembangan Islam. Calon pegawai diseleksi pengetahuan dan kemampuan teknisnya
sesuai dengan beban dan tanggung jawab pekerjaannya. Rasulullah dan Khulafaur
Rasyidin senantiasa menerapkan prinsip untuk tidak membebankan tugas dan
tanggung jawab kepada orang yang tidak mampu mengembannya.
Karyawan
Kontrak
Sebelum
ditetapkan menjadi karyawan tetap, biasanya para karyawan menjalani kontrak
kerja selama rentang waktu 6 bulan sampai 2 tahun. Jika dalam masa kontrak
tersebut karyawan mampu menunjukkan kinerja dan kemampuannya secara optimal
dalam menjalankan tugas, maka ia bisa diputuskan untuk menjadi karyawan tetap.
Namun, jika kinerjanya jelek dan tidak optimal, karyawan tersebut bisa dipecat.
Konsep
ini pernah dijalankan pada masa Khalifah Umar r.a Diriwayatkan bahwa Khalifah
Umar r.a berkata kepada pegawainya: “Sesungguhnya aku memilihmu, untuk
mengujimu. Jika engkau mampu menunjukkan kinerja yang optimal dan baik, maka
akan aku tambahkan tanggung jawabmu. Namun, jika kinerja engkau jelek, aku akan
memecatmu”.
Karyawan
Tetap
Jika
para pegawai mampu menunjukkan kinerja yang optimal pada masa kontrak,
selanjutnya akan dilakukan pengangkatan jabatan. Penentuan wewenang dan
tanggung jawab yang harus diembannya. Hal ini pernah dilakukan Khalifah dengan
membacakan wewenang dan tanggung jawab di hadapan kaum Muslimin dalam masjid,
dengan harapan maisng-masing penduduk mengetahui batasan wewenang dan tanggung
jawab pemimpinnya.
Sebelum
dikukuhkan sebagai pejabat, aset dan harta kekayaan yang dimiliki calon pegawai
harus dihitung terlebih dahulu. Langkah ini dilakukan untuk mempermudah proses
audit atau pemeriksaan kekayaan yang dimiliki, jika terdapat penambahan,
dikhawatirkan mereka akan mengeksploitasi dan melakukan komersialisasi jabatan
untuk menumpuk kekayaan, sehingga mudah untuk mempertanggungjawabkannya.
Khalifah
Umar r.a selalu melakukan audit terhadap aset kekayaan pegawainya untuk
menghindari eksploitasi dan komersialisasi jabatan demi kepentingan pribadi
(vested-interest). Apa yang telah dilakukan Khalifah Umar r.a untuk mengatyr
kehidupan masyarakat dalam berbagai aspeknya, mencerminkan pemikiran manajemen
yang dahsyat dan belum mampu dijangkau ilmu manajemen modern.
Mekanisme
Penetapan Upah dalam Islam
pada
masanya, Rasulullah adalah pribadi yang menetapkan upah bagi para pegawainya
sesuai dengan kondisi tanggung jawab dan jenis pekerjaan. Proses penetapan gaji
yang pertama kali dalam Islam bisa dilihat dari kebijakan Rasulullah untuk
memberikan gaji satu dirham setiap hari kepada Itab bin Usaid yang di angkat
sebagai gubernur Makkah.
Penetapan
Upah terlebih Dahulu
Rasulullah
memberikan contoh yang harus dijalankan kaum Muslimin setelahnya, yakni,
penentuan upah bagi para pegawai sebelum mereka mulai menjalankan pekerjaannya.
Rasulullah bersabda: “barang siapa
mempekerjakan seorang pekerja, maka harus disebutkan upahnya.” Rasulullah
memberikan petunjuk bahwa dengan memberikan informasi gaji yang akan diterima,
diharapkan akan memberikan dorongan semangat bagi pekerja untuk memulai
pekerjaan, dan memberikan rasa ketenangan. Mereka akan menjalankan tugas
pekerjaan sesuai dengan kesepakatan kontrak kerja dengan majikan.
Selain
itu, Rasulullah juga mendorong para majikan untuk membayarkan upah para pekerja
ketika mereka telah usai menunaikan tugasnya. Rasulullah bersabda: “berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya
kering.” Ketentuan ini untuk menghilangkan keraguan pekerja atau
kekhawatirannya bahwa upah mereka tidak akan dibayarkan, atau akan mengalami
keterlambatan tanpa adanya alasan yang dibenarkan. Namun demikian, umat Islam
diberikan kebebasan untuk menentukan waktu pembayaran upah sesuai dengan
kesepakatan antara pekerja dan majikan, atau sesuai dengan kondisi. Upah bisa
dibayarkan seminggu sekali atau sebulan sekali.
Upah
yang dibayarkan kepada para pekerja, terkadang boleh dibayarkan berupa barang,
bukan berupa uang tunai. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab memberikan upah
kepada Gubernur Himsha, Iyadh bin Ghanam, berupa uang satu dinar, satu ekor
domba, dan satu mud kurma setiap hari.
Dasar
Penetuan Upah
Upah
ditentukan berdasarkan jenis pekerjaan, ini merupakan asas pemberian upah
sebagaimana ketentuan yang dinyatakan Allah dalam firman-Nya: “Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut
apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan)
pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan” (Al-Ahqaf [46]:
19). Untuk itu, upah yang dibayarkan kepada masing-masing pegawai bisa berbeda
berdasarkan jenis pekerjaan dan tanggung jawab yang dipikulnya.
Tanggungan
nafkah keluarga juga bisa menentukan jumlah gaji yang diterima pegawai. Bagi
yang sudah berkeluarga gajinya 2 kali lebih besar dari pegawai yang masing
lajang. Karena mereka harus menanggung nafkah orang-orang yang menjadi tanggung
jawabnya, agar mereka tetap bisa memenuhi kebutuhan dan hidup dengan layak.
Rasulullah bersanda: “Barang siapa mempekerjakan
seseorang, sedang ia tidak memiliki rumah, maka ia harus diberi rumah, dan jika
ia tidak memilki istri, maka nikahkanlah, dan jika ia tidak memilki kendaraan,
maka berikanlah kendaraan.”
Uoah
yang diberikan berdasarkan tingkat kebutuhan dan taraf kesejahteraan masyarakat
setempat. Pada masa Khalifah Umar r.a, gaji pegawai harus disesuaikan dengan
tingkat kebutuhan dan kesejahteraan masayarakat setempat.[3] Jika tingkat biaya hidup
masyarakat setempat maningkat, maka upah para pegawai harus dinaikkan, sehingga
mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup.
Khalifah
Umar r.a sangat menginginkan untuk memberikan upah kepada para pegawai,
walaupun mereka tidak membutuhkan gaji tersebut untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Alasannya adalah apa yang pernah dilakukan Rasulullah terkait hal
ini. Diriwayatkan, Abdullah bin Umar al-Sa’idi merupakan pegawai Umar r.a, akan
tetapi ia menolak untuk menerima gajinya. Khalifah Umar r.a berkata: “tidakkah
telah aku katakan bahwa engkau mengurusi persoalan kaum Muslimin, tapi ketika
aku katakan bahwa engkau mengurusi persoalan kaum Muslimin, tapi ketika aku
beri upah, engkau menolaknya. Abdullah berkata: “Benar.” Umar r.a berkata: “Apa
yang engkau inginkan dengan hal ini?.” Abdullah menjawab: “Sebenarnya saya
telah memiliki beberapa kuda dan hamba sahaya, dan saya dalam kondisi baik.
Saya menginginkan agar gaji saya dijadikan sebagai sedekah untuk kaum
Muslimin.” Umar r.a berkata: “Jangan engkau lakukan. Sesungguhnya saya juga
menginginkan hal yang sama dengan kamu. Rasulullah memberikan gaji kepadaku,
dan aku berkata: “Berikanlah gaji itu kepada orang yang lebih fakir dariku.”
Kemudian Rasulullah bersabda: “Ambillah gaji itu, kembangkanlah (investasi) dan
sedekahkanlah. Gaji yang engkau terima bukanlah hasil meminta-minta dan israf
(berlebih-lebihan), maka ambillah dan janganlah memeperturutkan hawa nafsumu.”[4]
Prinsip
dasar yang digunakan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin adalah pertengahan,
moderat dalam penentuan upah pegawai, tidak berlebih-lebihan atau terlalu
sedikit (proporsional). Tujuan utama pemberian upah adalah agar para pegawai
mampu memenuhi segala kebutuhan pokok hidup mereka. Sehingga, mereka tidak
terdorong untuk melakukan tindakan yang tidak dibenarkan untuk sekedar memenuhi
nafkah diri dan keluarganya (tindak korupsi). Khalifah Umar r.a mendorong
pegawainya untuk tidak terlalu hemat atas dirinya (kikir), namun mereka harus
memiliki kehidupan mulia layaknya kebanyakan masyarakat, tanpa harus
berlebih-lebihan (israf) atau kikir, sebagaiman Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a
memberikan wasiat kepada gubernur untuk adil dalam memberikan upah kepada
pegawainya, dan tetap dalam pengawasan. Khalifah Ali r.a berkata: “kemudian
sempurnakanlah gaji yang mereka terima, karena upah itu akan memberikan
kekuatan bagi mereka untuk memperbaiki diri. Menjauhkan diri mereka untuk
melakukakn tindak korupsi dengan kekuasaan yang dimiliki, dan bisa dijadikan
sebagai argumen jika mereka melakukan pertentangan (perlawanan) dan berkhianat
terhadap amanahmu.”
Solidaritas
Sosial
Dalam
Islam, istilah solidaritas sosial (al-takaful al-ijtima’i) memiliki hubungan
yang erat dengan upah atau gaji. Seorang muslim yang mampu bekerja, akan
diberikan upah sesuai dengan kinerja atau tanggung jawab pekerjaan yang
diembannya. Adapun ketika mereka sudah tidak mampu lagi bekerja, negara
memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan mereka beserta anggota
keluarganya. Tanggung jawab pemenuhan kebutuhan ini menjadi kewajiban dan beban
pemerintah dari keuangan negara.
Diriwaytkan
dari Rasulullah, beliau bersabda: “Barang
siapa meninggalkan harta, maka untuk ahli warisnya, dan barang siapa
meninggalkan keturunan yang lemah, maka datanglah kepadaku, aku yang akan
menanggungnya.” Dengan demikian, negara memiliki tanggung jawab untuk
memenuhi segala kebutuhan hidup rkayatnya, guna menjalankan konsep solidaritas
sosial (al-takaful al-ijtima’i).
Penerapan
konsep al-takaful al-ijtima’i bisa dilihat dari apa yang pernah dilakukan
Khalifah Umar r.a terhadap seorang tua renta yang datang meminta-minta kepada
Khalifah. Khalifah menghampirinya dan menepuk-nepuk bahunya seraya berkata:
“Anda ahli kitab dari mana?” Orang tua itu menjawab, “Yahudi.” Umar r.a
berkata, “Apa yang mendorong engkau datang kepadaku?” Orang tua itu berkata,
“Saya ingin melaporkan kebutuhan saya, tentang usia saya dan pembayaran
jizyah.” Khalifah Umar r.a memegang tanpa orang tua tersebut dan menuntunnya
menuju Baitu Mal, dan berkata: “Lihatlah orang ini dan semisalnya. Demi Allah,
aku berlaku tidak adil jika aku memakan kerentaannya (tua renta), kemudian
menghinakannya di saat usia senja (kehancuran). Sesungguhnya, zakat diberikan
kepada kaum fakir miskin, dan ia adlaah orang miskin ahli kitab.” Kemudian,
khalifah membebaskan kewajiban pembayaran jizyah dia dan semisalnya.
Suatu
ketika, Khalifar Umar r.a mendengar tangisan seorang anak dari sebuah rumah.
Kemudian, bergegas melangkah menuju rumah tersebut, dan berkata kepada ibunya
“Bertakwalah kepada Allah, dan perbaikilah kondisi anakmu.” Lalu, khalifah kembali
ketempatnya, di akhir malam, beliau kembali mendengar tangisan anak itu. Beliau
kembali mendatangi ibunya, dan berkata, “Celakalah engkau, engkau adalah ibu
yang buruk, saya tidak melihat anakmu tidur tenang malam ini?.” Ibu itu
menjawab, “Wahai hamba Allah (dia tidak mengetahui siapa ia sedang bicara),
malam ini telah meberatkan saya, saya bermaksud ingin memisahkan anakku dari
susuannya, namun ia menolaknya”. Kemudia Umar r.a bertanya, “kenapa?” ibu itu
menjawab, “Karena Umar r.a tidak mewajibkan penyapihan bayi.” Umar r.a berkata,
“Celakalah engkau, jangan tergesa-gesa menyapihnya.” Ketika Khalifah Umar r.a
shalat subuh bersama para sahabat (Sa’ad berkata, kaum Muslimin tidak bisa
dengan jelas mendengarkan bacaan Umar r.a, karena dikalahkan suara
tangisannya). Setelah salam, Umar r.a berkata, “Celakalah Umar r.a berapa banyak anak miskin yang telah
dibunuhnya.” Beliau mengutus sahabat untuk mengumumkan, “Ingatlah, janganlah
kalian tergea-gesa menyapih anak kalian.” Setiap anak (bayi) Muslim akan diberi
zakat 100 dirham ketika beranjak menjadi anak-anak, akan diberikan 200 dirham,
dan ketika baligh ditambah menjadi 500 dirham.
Pengembangan
Kompetensi dan Pelatihan (Training and Development)
Islam
memandang bahwa ilmu merupakan dasar penetuan martabat dan derajat seseorang
dalam kehidupan. Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk senantiasa meminta
tambahan ilmu. Dengan bertambahnya ilmu, akan meningkatkan pengetahuan seorang
Muslim terhadap berbagai dimensi kehidupan, baik urusan dunia atau agama.
Sehingga, ia akan mendekatkan diri dan lebih mengenal Allah, serta meningkatkan
kemampuan dan kompetensinya dalam menjalankan tugas pekerjaan yang dibebankan
kepadanya.
Pelatihan
(trainning) dalam segala bidang pekerjaan merupakan bentuk ilmu untuk
meningkatkan kinerja, di mana Islam mendorong umatnya untuk bersungguh-sungguh
dan memuliakan pekerjaan. Rasulullah bersabda: “Tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan oleh seseorang daripada
apa yang ia makan dari pekerjaan tangannya. Sesungguhnya Nabi Allah Dawud a.s
memakan makanan dari hasil kerja tangannya.”
Islam
mendorong untuk melakukan pelatihan (trainning) terhadap para karyawan dengan
tujuan mengembangkan kompetensi dan kemampuan teknis karyawan dalam menunaikan
tanggung jawab pekerjaannya. Rasulullah memberikan pelatihan terhadap orang
yang diangkat untuk mengurusi persoalan kaum Muslimin, dan membekalinya dengan
nasihat-nasihat dan beberapa petunjuk.
Diriwayatkan
dari Ali r.a, ia berkata: “Rasulullah mengutusku ke Yaman untuk menjadi hakim,
kemudian saya berkata: “Ya Rasulullah, engkau mengutusku, sedang aku masih muda
belia, dan saya tidak memiliki pengalaman (ilmu) tentang peradilan?” Rasulullah
menjawab: “Sesungguhnya Allah akan memberikan hidayah kepadamu, dan menetapkan
lisanmu. Ketika datang ke hadapanmu dua orang yang sedang berseteru, maka
janganlah engkau menetapkan keputusan, sampai engkau mendengarkan perkataan
pihak kedua, sebagaimana engkau mendengar pernyataan pihak pertama. Hal ini
akan lebih hati-hati dan bersih bagimu untuk menjelaskan keputusan peradilan”.
Ali r.a berkata: “Setelah itu, tidak ada keraguan bagiku dalam memberikan
keputusan.”
Pada
musim haji, Khalifah Umar r.a senantiasa menggelar pertemuan tahunan bagi para
gubernur dan pegawai yang tersebar diberbagai wilayah kekuasaan Islam.
Pertemuan ini dijadikan sebagai media untuk melakukan trainning guna
meningkatkan kemampuan para pegawai dalam menjalankan persoalan umat.
Masing-masing gubernur dan pegawai saling tukar pengalaman dan pendapatan untuk
mengatasi persoalan manajemen pemerintahan. Dengan adanya pertemuan ini,
diharapkan mampu meningkatkan pengalaman dan kemampuan dalam menjalankan
manajemen pemerintahan.
Disamping
itu, Khalifah Umar r.a sering mengirimkan surat kepada pegawai dan gubernur
yang berisi petunjuk dan nasihat, serta peringatan kepada mereka tentang
kewajiban yang harus ditunaikan, menegakkan keadilan dan belas kasihan terhadap
kehidupan rakyat. Surat Khalifah Umar r.a yang ditujukkan kepada Abu Musa
al-Asy’ari, pegawai beliau di Irak, merupakan materi pelatihan penting yang
dapat di jadikan sebagai dasar-dasar sistem peradilan.
Begitu
juga surat yang dikirimkan Khalifah Ali r.a kepada Gubernur Mesir, Asytar
al-Nukha’i, yang beirisi tentang prinsip-prinsip dan konsep dasar manajemen. Di
samping itu, khalifah juga berwasiat untuk berlaku lemah lembut dan
memerhatikan kehidupan rakyat, mengedapnkan kepentingan mayoritas di atas
kepentingan individu atau golongan, dan senantiasa bermusyawarah dengan para
wakil rakyat, menjauhi sikap nepotisme dalam mengangkat calon pegawai, namun
berdasarkan kompetensi dan kemampuan teknis melakukan pengawasan dan audit
terhadap kinerja pegawai terkait dengan urusan rakyat.
Hubungan
Kemanusiaan dalam Islam
Hubungan
antar karyawan dalam sebuah organisasi merupakan aspek penting untuk memenuhi
kebutuhan mereka yang bersifat non-materi (kejiwaan, spiritual). Jika kebutuhan
spiritual ini dapat terpenuhi, akan mendorong dan memotivasi pegawai untuk
bekerja lebih optimal. Mereka melakukan itu semua dengan penuh keikhlasan dan
semangat saling membantu satu sama lain.
Sebagai
langkah awal untuk memenuhi kebutuhan ini adalah menciptakan perasaan aman dan
tenang bagi pegawai dalam menjalankan pekerjaan. Adanya peningkatan ketenangan
jiwa dan berkontribisu dalam merealisasikan tujuan, masing-masing pegawai akan
merasa bahwa tanggung jawab perusahaan berada di pundak mereka, dan bergantung
pada upaya dan kesungguhan mereka dalam menunaikan kerja, serta menunaikan
kinerja yang optimal dengan segala potensi yang dimilikinya dan tetap menjaga
kemuliaan diantara manusia.
Pemikiran
manajemen modern mengakui adanya hubungan kemanusiaan dalam proses produksi
awal abad ke-20, dimana manusia merupakan salah satu faktor produksi. Akan
tetapi, tidak mengindahkan sisi kejiwaan mereka. Manusia tidak di posisikan
layaknya manusia yang memilki kemuliaan dan kehormatan, ia hanya bersifat
materi sama halnya dengan faktor produksi lainnya.
Berbeda dengan pandangan Islam terhadap
manusia. Manusia dipandang sebagai makhluk mulia yang memilki kehormatan dan
berbeda dengan makhluk lain. Islam mendorong umatnya untuk memperlakukan
manusia dengan baik, membina hubungan dengan semagat kekeluargaan dan saling
tolong menolong. Allah berfirman: “Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong
dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (Al-Maidah [5]: 2).
Dalam ayat lain, Allah berfirman: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penoling bagi sebagian yang lain.
Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana” (Al-Taubah [9]: 71). Rasulullah bersabda: “Sesama Muslim adalah saudara, tidak saling
menzalimi dan menghina.”
Konsep
Hubungan Kemanusiaan
Merasakan
Ketenangan dan Ketentraman
Sebagai pegawai baru yang mulia masuk
dunia kerja, biasanya mereka merasakan kekhawatiran dan ketakutan (canggung).
Terdapat perasaan takut terbuat kesalahan dan menjadi bahan pembicaraan
karyawan lama dan juga para atasan. Mereka merasakan kesedihan dan kebimbangan
dalam mengawali pekerjaan. Mereka membutuhkan bimbingan dengan penuh kaish
sayang, sehingga mereka bisa melalui hari-hari sulitnya dan bisa merasakan
bahwa dia adalah bagian dari anggota karyawan secara utuh. Atasan perlu
meberikan perhatian ekstra guna membantu pekerjaan mereka, memberikan petunjuk
secara bijaksana, dengan tidak kesombongan dan sikap merendahkan orang lain.
Allah berfirman: “Serulah (manusia)
kepada jalan Tuhan-mu dengan himah (hikmah: ialah perkataan yang tegas dan
benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil) dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik...” (An-Nahl [16]:
125).
Rasulullah bersabda: “Barang siapa tidak memberikan kasih sayang kepada manusia, maka Allah
tidak akan memberikannya kasih sayang-Nya.” Rasulullah bersabda: “Janganlah
kamu menghina kebajikan sedikit pun, jika kamu tidak menemukan kebajikan, maka
senyummu dihadapan saudaramu adalah sedekah.”
Rasulullah mendorong umatnya untuk saling
membantu, tolong menolong, dan mengembangkan semangat persaudaraan di antara
kaum Muslimin beliau bersabda: “Seseorang
yang berjalan bersama saudaranya untuk memenuhi kebutuhannya, lebih utama
daripada beri’tikaf di masjid-ku selama dua bulan.” Beliau juga bersabda:
“Sesungguhnya, Allah memiliki beberapa hamba yang dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan
manusia, menumbuhkan rasa cinta kepada mereka terhadap kebajikan, dan kebajikan
itu cinta terhadap mereka, mereka adalah orang-orang yang selamat dari azab
hari kiamat.”
Al-Qur’an memberikan petunjuk kepada kaum
Muslimin bahwa hubungan yang terbentuk di antara mereka, harus dibangun dengan
sikap untuk saling menghormati dan menjauhi untuk saling menghina serta
memperlakukan orang lain dengan buruk. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki
merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik
dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya,
boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu
sendiri, (jangan mencela dirimu sendiri maksudnya ialah mencela antara sesama
mukmin karena orang-orang mukmin seperti satu tubuh) dan jangan memanggil
dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan)
yang buruk sesudah iman (panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai
oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman,
dengan panggilan seperti: hai fasik, hai kafir dan sebagainya) dan barang siapa
yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (Al-Hujurat
[49]: 11).
Di samping itu, Allah juga mengajak kaum
Muslimin untuk menggunakan kata-kata yang baik ketika melakukan muamalah dengan
sesamanya. Allah berfirman: “Tidakkah
kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik
(termasuk dalam kalimat yang baik ialah kalimat tauhid, segala ucapan yang
menyeru kepada kebajikan dan mencegar dari kemungkaran serta perbuatan yang
baik. Kalimat tauhid seperti la ila ha illallah) seperti pohon yamg baik,
akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon titu memberikan
buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan
perumpamaan kalimat yang buruk (termasuk dalam kalimat yang buruk ialah kalimat
kufur, syirik, segala perkataan yang tidak benar dan perbuatan yang tidak baik)
seperti pohon yang buruk yang telah
dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak)
sedikitpu. “ (Ibrahim [14]: 24-26).
Diriwayatkan dari Anas, ia berkata: “Saya telah menjadi pembantu Rasulullah
selama 20 tahun, beliau tidak pernah mengatakan sesuatu terhadap apa yang telah
saya kerjakan, atau terhadap sesuatu yang belum saya kerjakan dengan berkata,
tidakkah engkau mengerjakannya?.” Rasulullah merupakan suri tauladan yang baik.
Merasa
sebagai Bagian dari Organisasi
Sesama pegawai adalah saudara, saling
membantu satu sama lain dalam menyelesaikan pekerjaan. Mereka layaknya satu
bangunan yang saling menguatkan satu sama lain. Pegawai muslim, akidah yang
dimilikinya akan mendorongnya untuk menjauhi sikap sombong, bertindak zalim,
hasud atau berbangga diri. Rasulullah bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu, bapak kalian
adalah satu, kalian semua adalah keturunan Adam a.s, dan Adam a.s dari tanah.
Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling
bertakwa. Tidak ada keutamaan orang arab atas orang ‘ajam, orang berkulit merah
atas orang berkulit putih, kecuali tingkat ketakwaannya.”
Hadis ini memberikan petunjuk adanya
prinsip persamaan (egaliter) di antara umat manusia, dan agama mendorong
umatnya untuk membangun persaudaraan diantara pegawai. Saling membantu satu
sama lain dengan menerapkan prinsip bermusyawarah dan saling berkontribusi
dalam pekerjaan. Rasulullah bersabda: “Ketika
salah satu dari kalian meminta pendapat (musyawarah) kepada saudaranya, maka
bermusyawaralah dengannya, orang yang di ajak bermusyawarah adalah orang yang
di percaya.”
Mengikuti
Kinerja dan Memberikan Tindak Korektif
Ini merupakan persoalan krusial dalam
hubungan antara atasan dan bawahan pada satu organisasi tertentu. Allah
memberikan dorongan untuk memberikan insentif bagi orang yang mampu menunjukkan
kinerja optimal (baik). Allah berfirman: “Barang
siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik (ditekankan dalam ayat ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam
mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman) dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan” (Al-Nahl [16]: 97).
Dalam ayat lain Allah berfirman: “Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal
saleh, tentulah kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang
mengerjakan amalan (nya) dengan yang baik” (Al-Kahfi [18]: 30).
Islam mendorong umatnya untuk memberikan
semangat dan motivasi bagi pegawai dalam menjalankan tugas mereka. Kinerja dan
upaya mereka harus diakui, dan mereka haru dimuliakan jika memang bekerja
dengan baik. Pegawai yang menunjukkan kinerja baik, bisa diberi bonus ataupun
insentif guna menghargai dan memuliakan prestasi yang telah dicapainya.
Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a memberikan wasiat kepada kerabatnya, “Janganlah
engkau posisika sama antara orang yang berbuat baik dan yang berbuat jelek.
Karena hal itu akan mendorong orang yang orang yang berbuat baik untuk senang
menambahkan kebaikan, dan sebagai pembelajaran bagi orang yang berbuat jelek.”
Rasulullah juga memberikan pembelajaran
bahwa para pejabat dan pegawai harus senantiasa dipantau dan dikoreksi, mereka
harus ditunjukkan kesalahan yang mungkin mereka lakukan. Akan tetapi, cara
mengingatkannya harus bijaksana, tidak bisa dilakukan di hadapak khalayak ramai
untuk menjaga kehormatan dan harga diri mereka. Hal ini tercermin dari kasus
Iyadh bin Ghanam, pejabat Khalifah Umar r.a. Suatu ketika Iyadh melakukan
kesalahan, kemudia ditegur secara keras oleh Hisyam bin Hakin di depan orang
banyak, sehingga Iyadh marah. Perseteruan ini mereda beberapa malam, kemudia
Hisyam mendatangi Iyadh dan meminta maaf. Hisyam berkata kepada Iyadh: apakah
engkau tidak mendengar bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Sesungguhnya orang yang akan menerima siksa paling pedih adalah orang
yang paling pedih menyiksa orang di dunia.” Iyadh berkata: “Aku mendengar
apa yang engkau dengar, dan melihat apa yang engkau lihat, apakah engkau tidak
mendengar bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Barang siapa menginginkan untuk memberikan nasihat kepada penguasa,
maka janganlah diperlihatkan secara jelas....”
Contoh menarik yang bisa dijadikan sebagai
renungan untuk menghormati kemuliaan manusia adalah apa yang pernah dilakukah
Khlifah Umar r.a kepada pegawainya. Suatu ketika Khalifah Umar r.a menuliskan
surat kepada Gubernur Bahrain, Ala’ al-Hadhrami: “Sesungguhnya aku telah
mendelegasikan tugas Utbah bin Ghazwan kepadamu, dan ketahuilah, engkau datang
kepada seorang lelaki dari Kaum Muhajirin yang telah dikenal reputasi
kebaikannya, dan sesungguhnya aku tidak mencopot dia jika ia adalah orang yang
mampu menjaga diri, kuat agamanya dan sangat pemberani, aya yakin engkau adalah
orang yang lebih kaya dari kaum Muslimin tentang hal ini, maka berikanlah
hak-haknya.”
Khalifah Umar r.a juga melakukan
pencopotan jabatan dari sebagian pegawainya, diantaranya Gubernur Syam,
Syarhabil bin Hasanah digantikan dengan Muawiyah bin Abi Sofyan. Dalam
melakukan pencopotan ini, Khalifah Umar r.a bukannya tidak memiliki alasan yang
kuat, namun disaksikan beberapa sahabat dan mengungkapkan alasan serta memohon
izin. Khalifah hanya ingin menggantinya dengan orang yang lebih kuat.[5] Keterangan ini menjelaskan
bahwa kita harus memperlakukan orang sebaik mungkin dan menjaga kehormatan dan
kemuliaan mereka dari tindakan yang tidak bertanggung jawab.
Keyakinan
terhadap Tujuan dan Tanggung Jawab
Seorang pegawai yang mengetahui tujuan dan
tanggung jawab pekerjaan yang dilakukannya, mengetahui hubungannya dengan
pegawai lain, adalah orang yang terbuka hatinya dan lapang jiwanya. Mereka
memilki semangat dan etos kerja yang tinggi, dan mampu menunaikan semua tugas
pekerjaannya dengan keikhlasan dan ketenangan jiwa.
Islam mendorong untuk bertanggung jawab
terhadap tugas dan kewajiban, serta motivasi mereka guna menunjukkan kinerja
yang optimal, dan saling berkompetisi dalam kebaikan. Dengan demikian, masing-masing
pribadi Muslim memiliki beban tanggung jawab yang harus dipikulnya. Rasulullah
pernah mendelegasikan kepemimpinan perang pembukaan kota Syam kepada Usamah bin
Zaid, padahal umurnya tidak lebih dari 18 tahun. Selain itu, Rasulullah juga
mengutus Ali bin Abi Thalib untuk menjadi hakim di kota Yaman sebagaimana telah
dijelaskan. Dorongan dari Rasulullah dapat dijadikan sebagai motivasi untuk
memikul tanggung jawab dan melaksanakan sebagaimana mestinya.
Terhindar
dari Tindak Kezaliman
Hal ini merupakan tugas pokok bagi para
pegawai pemerintahan, mereka dituntut untuk melindungi rakyat dari tindak
kezaliman. Rasulullah mendorong untuk berlaku adil terhadap orang-orang yang
terzalimi, dan tetap menjaga kehormatan dan kemuliaan mereka, serta terbebas
dari kezaliman. Allah berfirman: “Dan
sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan (maksudnya: Allah memudahkan bagi anak Adam
pengangkutan-pengankutan di daratan dan di lautan untuk memperoleh penghidupan),
Kami beri mereka rezki dari yang
baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (Al-Isra’ [17]: 70).
Khalifah Umar r.a berjanji pada dirinya
sendiri mengelilingi seluruh wilayah kekuasaan Islam, akan tetapi hal itu tidak
bisa terealisasi, karena beliau keburu wafat. Umar r.a berkata kepada para
sahabat: “Insya Allah jika aku bisa hidup lama, aku akan melakukan perjalanan
mengelilingi kehadapan rakyatku, karena aku yakin bahwa ada kebutuhan
masyarakat yang tidak bisa terpenuhi olehku. Kebutuhan itu mungkin tidak
dilaporkan pemimpin mereka kepadaku, atau mungkin sudah disampaikan, tapi tidak
sampai kepadaku.” Dan beliau berkata: “Jika ada pegawaiku yang melakukan
kezaliman, dan kezaliman itu telah sampai kepadaku, namun aku tidak
mengubahnya, maka aku telah melakukan kezaliman terhadapnya.”
Khalifah Umar r.a memberikan wasiat kepada
para pegawainya untuk berlaku adil dan berbalas kasih kepada kehidupan rakyat,
ia berkata kepada Khalid bin Irfathah: “Sesungguhnya, nasihatku untukmu,
sedangkan engkau sedang duduk di hadapanku, sebagaimana nasihatku kepada orang
yang paling jauh di tempat kehidupan kaum Muslimin, hal ini aku lakukan karena
Allah membebankan persoalan mereka kepadaku.” Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang meninggal dalam kondisi
menipu rakyatnya, maka ia tidak akan pernah mencium bau surga.”
Jika ada rakyat kecil yang mengadukan
pemimpinnya atas suatu perkara, maka hal ini harus di bawa ke mahkamah
peradilan, agar kebenaran bisa terungkap di antara mereka. Khalifah Umar r.a
memandang bahwa seorang pemimpin layaknya rakyat biasa di hadapan hukum
peradilan. Mereka harus diperlakukan sama untuk memperoleh keadilan.[6]
Manajemen sistem peradilan telah
berkembang dalam Islam, setidaknya hal ini tercermin dari terbentuknya diwan al-madzalim yang dikhususkan untuk
menyelesaikan persoalan tindak kezaliman. Melakukan pengawasan terhadap tindak
kezaliman yang mungkin dilakukan para pimpinan, atau menangani keluhan para
pegawai yang merasakan kezaliman. Diwan
al-madzalim merupakan lembaga hukum independent
yang terpisah dari kekuasaan seorang pemimpin. Hal ini dimaksudkan untuk
memberikan putusan hukum yang adil antara pegawai yang terzalimi dengan pejabat
pemerintahan yang berbuat kezaliman.
BAB II
HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALLAH, dan
PERANNYA DI MUKA BUMI
Pembentuknya Individu sebagai Dasar
Pembentukan Masyarakat
Individu
merupakan bagian dari masyarakat, ia adalah unsur yang membentuknya, sehingga
masyarakat dapat dikatakan sebagai kumpulan dari beberapa individu. Adalah
tidak mungkin mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat jika masih terdapat
individu yang masih menderita. Untuk itu, pembentukan individu yang sempurna
menjadi konsen utama dalam pembahasan ini. Karena kesejahteraan dan kebahagiaan
masyarakat merupakan cerminan dari kebahagiaan individu.
Islam
memilki pemahaman dan konsep yang jelas tentang hubungan manusia dengan alam
semesta ini. Pandangan Islam tentang uluhiyyah (konsepsi ketuhanan) dibangun
dan diikuti dengan kaidah ‘ubudiyyah (kegiatan ibadah) kepada Allah. Konsepsi
ini menekankan adanya nilai keimanan yang mutlak kepada Allah, di mana hal ini
tercermin dalam perilaku individu Muslim untuk patuh terhadap perintah dan
larangan Allah. Dan beriman terhadap keesan Allah merupaka refleksi dari
pemahaman ‘ubudiyyah seorang individu Muslim.
Allah
berfirman, “Janganlah kamu menyembah dua
Tuhan; sesungguhnyanya Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa, maka hendaklah kepada-Ku
saja kamu takut. Dan kepunyaan-Nyalah segala apa yang ada dilangit dan di bumi,
dan untuk-Nyalah ketaatan itu selama-lamanya. Maka mengapa kamu bertakwa kepada
Allah selain Allah?” (Al-Nahl [16]: 51-52).
Seorang
individu Muslim tidak akan menyembah kepada selain Allah, tidak akan oernah
mempersembahkan ketundukannya (ibadah) kepada seseorang selain Allah. Allah
berfirman: “Katakanlah: sesungguhnya
sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta
alam. Tidak sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku
dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (Al-An’am
[6]: 162-163).
Prosesi
ibadah yang dilakukan individu Muslim tidak akan sempurna kecuali mutaba’ah
(mengikuti) terhadap tata cara ibadah yang telah di ajarkan Rasulullah saw. Ia
harus meyakini bahwa Rasulullah saw merupakam Rasul yang diutus untuk
memberikan petunjuk dan menjadi sumber dalam beribadah. Allah berfirman: “...Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka
terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah...” (Al-Hasyr
[54]: 7).
Adapun
pandangan Islam terkait dengan alam semesta ini dibangun atas asumsi bahwa alam
ini merupakan hasil ciptaan Allah dengan kehendak-Nya. Allah telah menciptakan
bumi dengan segala fasilitasnya untuk kehidupan manusia. Di samping itu, Allah
juga memberikan aturan sistematis yang akan mengatur pergerakan alam raya ini.
Semua ciptaan Allah di dalam alam semesta ini telah ditentukan aturan dan garis
edarennya masing-masing. Allah berfirman, “Dan
Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya
dengan serapi-rapinya (maksudnya: segala sesuatu yang dijadikan Tuhan
diberi-Nya perlengkapan-perlengkapan dan persiapan-persiapan, sesuai dengan
naluri, sifat-sifat dan fungsinya maisng-masing dalam hidup).” (Al-Furqan
[25]: 2).
Berdasarkan
keterangan di atas, setidaknya kita bisa menyingkap rahasia penciptaan alam. Di
balik penciptaan alam ini, terdapat kehendak yang mengaturnya, terdapat
kekuatan yang menggerakkannya, terdapat kemampuan menjalankan sistem alam
semesta secara sistematis sesuai dengan masing-masing komponen alam ini tidak
saling bertabrakan, berbenturan, dan saling bertentangan. Perputaran alam
semesta ini akan tetap berlanjut sesuai dengan kehendak Allah. Sehinggan,
dengan adanya alam semesta ini, kita bisa menemukan kehadiran (wujud) Allah.
Kehidupan
alam akan tunduk terhadap kehendak Allah yang mengaturnya, serta akan tunduk
terhadap kekuatan Allah yang menggerakkannya. Ini merupakan makna dari firman
Allah berikut ini, “Sesungguhnya Tuhan
kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu
Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang
mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan
bintang-bintang (maisng-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah,
menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan
semesta alam,” (Al-A’raf [7]: 54).
Hubungan Manusia dengan Alam
Manusia
merupakan bagian dari alam ini. Asal muasal penciptaan jasad manusia berasal
dari saripati tanah alam ini. Akan tetapi, manusia berbeda dari asal
penciptaannya. Karena, ia diberi keistimewaan dan kesempurnaan rabbani dari
Allah. Manusia memilki akal pikiran, sehingga memungkinkan untuk menjadi
makhluk yang mulia. Dengan kemuliaan tersebut, setidaknya manusia juga memiliki
ketundukan terhadap hukum alam yang di sunnahkan Allah dalam firman-Nya, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudia kami jadikan saripati itu
itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani
itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal
daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang
belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudia Kami jadikan dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Bauk” (Al-Mukminun
[23]: 12-14).
Sistem Sosial Masyarakat
Allah
merupakan dzat yang telah menciptakan alam ini dengan segala fasilitasnya. Dan
Allah juga satu-satunya Dzat yang mampu mengatur dan menggerakkan kehidupan
ini. Allah juga telah menciptakan manusia sebagai bagian dari alam. Dengan
adanya penciptaan alam, Allah juga menurunkan Syariah sebagai manhaj al-hayah
(sistem kehidupan), yang mengatur sistematika kehidupan manusia di muka bumi. Syariah
yang terdiri atas aturan dan hukum merupakan bagian dari qanun ilahiyyah
(undang-undang) yang mengatur kehidupan manusia dan alam sesuai fitrahnya. Dan
tentunya, dalam kerangka beribadah kepada Allah yang Maha Esa.
Tidak
diragukan lagi, bahwa pemahaman manusia terhadap alam dan kehidupan ini akan
berpengaruh terhadap hubungan sosio-ekonomi dalam kehidupan. Masyarakat yang
mengingkari kehadiran Allah dalam proses kehidupan, mereka hanya akan
berorientasi materi. Lebih lanjut faktor utama yang mendorong mereka hidup ikon
materi dan kapital serta memilki sebanyak mungkin materi dan faktor produksi.
Padahal,
jika kita melihat kebutuhan dasar manusia hanyalah kebutuhan jasad akan makan,
minum, pakaian, tempat tinggal dan sejenisnya. Untuk hal ini saja, manusia
tidak memilki kebebasan. Di samping itu, ia tidak memilki kebebasan untuk
memenuhi kebutuhan spiritualisme sebagai wujud keyakinan terhadap Allah.
Manusia di pasung, tidak memilki kebebasan untuk mengungkapkan keinginannya,
menunjukkan jati dirinya. Tidak bebas mempunyai kepemilikan individu, tidak
bebas memilih pekerjaan sesuai dengan keinginan dan kompetensinya.
Ibadah dan Proses Pembangunan
Dalam
Islam, telah ditentukan tujuan penciptaan alam beserta keseimbangan antara
individu, alam dan masyarakat. Hubungan harmonis antara individu dan alam ini,
banyak ditemukan dalam beberapa ayat. Allah berfirman, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-ku. Aku tidak mengehendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak
menghendaki supaya mereka memberki-Ku makan” (Al-Dzariyat [51]: 56-57).
Ustadz
Ilal al-Fasi memberikan penjelasan tentang hubungan ini: “Allah telah
menjadikan ibadah sebagai raiso d’etre (alasan kehadiran) penciptaan manusia.
Akan tetapi, dengan adanya ibadah ini bukan berarti manusia tidak bekerja dan
memisahkan diri dari kehidupan dunia. Sesuai dengan risalah Allah, manusia
memiliki kewajiban untuk memakmurkan bumi, menyebarkan hukum Ilahi di muka bumi
sesuai dengan kehendak dan aturan Allah, serta tujuan penuruan Syariah. Namun
sebelumnya, manusia diwajibkan mempelajari dan memahami aturan dan hukum Allah.”[7]
Islam
merupakan agama yang dibangun dengan bekerja dan tekad yang sungguh-sungguh,
tidak mengenal adanya rahbaniyyah (kependetaan) dan memisahkan diri dari
kehidupan dunia. Allah berfirman: “Dan
mereka mengada-adakan rahbaniyyah (yang dimaksud dengan rahbaniyyah ialah tidak
beristri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara) padahal kami tidak
mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya)
untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan
pemeliharaan yang semestinya” (Al-Hadid [57]: 27).
Mahmud
syaltut menjelaskan: “Manusia dan jin diciptakan Allah dalam kerangka beribadah
kepada-Nya, namun demikian, hal ini tidak berarti harus mengasingkan diri dan
menjauh dari kehidupan dunia. Cara ibadah yang sebenarnya adalah dengan
melakukan pemakmuran dan pembangunan bumi. Menyingkap rahasia Allah yang
menunjukkan keagungan dan keesaan-Nya, dalam kerangka beribadah dan
menyucikan-Nya”.
Ini
merupakan konsepsi ibdaha yang sebenarnya. Manusia wajib memahami bahwa Allah
tidak akan ridha terhadap hamba-Nya yang bersuhud di muka bumi secara mutlak,
memutuskan hubungan dengan dunia dan mengasingkan diri berdiam di biara, masjid
hanya untuk beribadah dan bermunajat. Seharusnya, mereka tetap harus bisa
bermunajat di perkebunan sembari bekerja, di tempat-tempat perniagaan, ataupun
di masyarakat (bekerja merupakan salah satu bentuk ibadah, bergantung pada niat
yang ada). Munajat ini akan tetap didengar oleh Allah dan bisa dijadikan media
mendekatkan diri dengan Allah.[8]
Dalam
Islam, manusia memilki hubungan dengan Allah dan dibangun dengan fikrah
azaliyah. Sejak Allah berkehendak menciptakan dunia pada zaman azali, Allah
mengumandangkan amanah kepada seluruh ruh manusia. Allah menawarkan amanah
kepada mereka untuk beribadah dan menerima taklif (pembebanan, kewajiban
Syariah). Ruh manusia menerimanya dan mengakui ketuhanan Allah dan kewajiban
untuk beribadah kepada-Nya.
Hal
ini direkam oleh Al-Qur’an dalam firman-Nya, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan
Kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang
yang lengah terhadap ini (keesan Tuhan)” (Al-A’raf [7]: 172).
Sebagai
konsekuensi pengakuan ini, Allah memberikan alam ini kepada manusia sebagai
tempat berpijak dan mendirikan khilafah (pemerintahan, pemakmuran) di atasnya.
Diberikan fasilitas kehidupan dan kemampuan untuk memakmurkan dan membangunnya,
ditundukkannya daratan dan lautan sebagai sumber rizki, agar manusia bisa
bersyukur dan ingat kepada Allah.
Allah
berfirman, “Dia telah menciptakan kamu
dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurannya (maksudnya: manusia
dijadikan penghuni dunia untuk menguasai dan memkamurkan dunia)” (Hud [11]:
61).
Allah
berfirman, “Dialah yang menjadikan bumi
itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah
sebagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah)
dibangkitkan” (Al-Mulk [67]: 15).
Islam
tidak membolehkan umatnya untuk berpaling dan meninggalkan dunia secara
ekstrem, tidak mau menikmati fasilitas kehidupan kecuali sebatas untuk
menguatkan jasad (zuhud ekstrem, sufisme). Islam sangat mengingkari prinsip
hidup ini. Di suatu sisi, ini tidak berarti bahwa Islam menyuruh umatnya untuk
mendewakan materi. Islam sangat mengingkari untuk menumpuk dan menyimpan harta
sebanyak mungkin, hanya untuk menguatkan perwujudan fisik, kekuatan akal dan
dan eksistensinya dalam kehidupan. Untuk mendapatkan matera sebagai tujuan
akhir, ia menghalalkan segala cara tanpa mengindahkan norma-norma yang ada, tidak
memperhatikan spiritualnya, tidak memilki rasa syukur, belas kasihan, rasa
sayang atau ingin membantu orang lain. Yang ada dalam pikirannya adalah
kesombongan, menumpuk harta dan berlomba-lomba memperbanyak harta hingga
melampaui batas.
Allah
berfirman, “Barang siapa yang menghendaki
kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan
pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan
dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka
dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan
sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan (Maksudnya: apa yang mereka usahakan
di dunia itu tidak ada pahalanya di akhirat)” (Hud [11]: 15-16).
Moderat dan Pertengahan sebagai
Karakter Islam
Menyikapi
persoalan ini, Islam memiliki pandangan yang moderet dalam memandang hidup dan
kehidupan ini. Sebuah sikap yang dibalut keistimewaan yang berbeda dan
bersumber dari manhaj rabbani (metode Allah). Bagi seorang Muslim, dalam
menyikapi hidup ini harus bersumber dari Syariah yang telah diturunkan Allah,
karena Syariah merupakan sistem yang akam mengatur kehidupan manusia, baik yang
berhubungan dengan keyakinan ketuhanan (akidah), sumber-sumber hukum,
pengelolaan dan pembangunan, akhlak ataupun etika. Dengan dasar ini, pribadi
Muslim tidak akan memarginalkan peran materi, karena dunia diciptakan darinya.
Manusia hidup di dunia akan berpengaruh dan di pengaruhi materi. Dan
sebaliknya, manusia tidak akan mendewakan materi dan menjadi tujuan kehidupan.
Bekerja
dan berproduksi untuk mengahsilkan dan mengolah materi merupakan pilar bagi
pamakmuran dan pembangunan bumi. Manusia sebagai wakil (khalifah) Allah tidak
bisa meninggalkan peran ini. Akan tetapi, materi dan hasil produksi bukanlah
segalanya. Jika materi mendapatkan nilai tertinggi bagi kehidupan manusia dan
merupakan tujuan akhir maka, manusia akan kehilangan karakteristiknya,
keistimewaannya, dan hubungan dengan sesama manusia.
Dalam
menyikapi harta dan kehidupan dunia, manusia dituntut untuk mendialektikkan
kebutuhan materi dan spiritual secara seimbang. Memiliki pandangan moderet
dalam memanfaatkan materi dan kehidupan ini. Allah berfirman: “Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka
makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan
amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian
mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan” (Al-Maidah [5]: 93).
Allah
menunjukkan hubungan yang harmonis antara menikmati kenikmatan dan kesenangan
dunia dengan ketakwaan, kebajikan dan amal salih. Allah berfirman, “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah
di setiap (memasuki0 masjid (maksudnya: tiap-tiap akan mengerjakan sembahyang
atau thawaf keliling Ka’bah atau ibadah-ibadah yang lain), makan dan minumlah,
dan janganlah berlebih-lebihan (maksudnya: janganlah melampaui batas yang
dibutuhkan oleh tubuh dan jangan pula melampaui batas-batas makanan yang
dihalalkan). Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan. Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah
yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi
orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di
hari kiamat (Maksudnya: perhiasan-perhiasan dari Allah dan makanan yang baik
itu dapat dinikmati di dunia ini oleh orang-orang yang beriman dan orang-orang
yang tidak beriman, sedang di akhir nanti adalah semata-mata untuk orang-orang
yang beriman saja)” (Al-A’raf [7]: 31-32).
Islam
membolehkan umatnya untuk menikmati perhiasan kehidupan, tapi tetap dengan
menjaga keseimbangan (moderet) yang merupakan prinsip dasar dalam setiap hukum
yang diturunkan Allah. Manusia dibolehkan menikmati kesenangan dunia dengan
catatan; pertama, memilki niat yang baik, yakni dengan tujuan untuk mensyukuri
nikmat Allah, bukan untuk tujuan kesombongan dan [kebanggaan. Kedua, tetap
dilakukan secara seimbang dan moderet, sehingga tidak terjebak dalam sikap
isyraf (berlebih-lebihan). Allah berfirman: “Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan
Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah”
(Al-Nahl [16]: 114). Dalam ayat lain Allah berfirman: “makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (Al-A’raf [7]: 31).
BAB III
PERAN DAN FUNGSI MANAJEMEN SUMBER
DAYA MANUSIA
Pengertian Manajemen Sumber Daya
Manusia
Manajemen
sumber daya manusia merupakan bagian dari ilmu manajemen yang memfokuskan
perhatiannya pada pengaturan peranan sumber daya manusia dalam kegiatan suatu
organisasi.
Manajemen
sumber daya manusia (human resources
management) berbeda dengan manajemen personalia (personnel management). Manajamen sumber daya manusia menganggap
bahwa para karyawan adalah kekayaan (asset)
utama organisasi yang harus dikelola dengan baik, jadi MSDM sifatnya lebih strategis bagi organisasi dalam mencapai
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan manajemen personalia menganggap
karyawan sebagai salah satu faktor produksi yang harus dimanfaatkan secara
produktif, atau manajemen personalia lebih menekankan pada sistem dan prosedur.
Karena
pentingnya peran SDM dalam pelaksanaan dan pencapaian tujuan organisasi maka
pengelolaan sumber daya manusia harus memerhatikan beberapa aspek seperti aspek
staffing, pelatihan dan pengembangan, motivasi dan pemeliharaannya yang secara
lebih mendetail dikemukakan oleh De
Cenzo and Robbins (1996:8), menyatakan bahwa: “human resources management is the part of the organization yhat is
concerned with the “people” or human resources aspect of management position,
including recruiting, screening, training, rewarding, and appraising”.
Karena
mengelola SDM merupakan suatu sistem maka beberapa aspek yang menjadi perhatian
di atas dalam pelaksanaannya harus saling bergantung (bersinergi) satu sama
lain jangan merupakan aktivitas yang berjalan sendiri-sendiri seperti
dikemukakan oleh Werther and Davis
(1996:18), menyatakan bahwa: “Human
resources management is a system that consists of many interpendent activities.
This activities do not occur in isolation virtually every one affects another
human resources activity”. Dan karena setiap aktivitas yang bersinergi
tersebut merupakan pelaksanaan dari setiap keputusan yang diambil maka MSDM itu pada dasarnya merupakan
integrasi keputusan yang membentuk hubungan antar karyawan. Kualitas sinergi
mereka memberikan kontribusi terhadap kemampuan SDM dan organisasi dalam mencapai tujuan. [9]
Secara
ringkas pernyataan para pakar di atas pada dasarnya menyatakan MSDM itu merupakan penggunaan SDM untuk
mencapai tujuan organisasi seperti dikemukakan Mondy, Noe and Premeaux
(1994:4), mengemukakan bahwa “Human
resources management (HRM) is the utilization of human resources to achieve
organizational objectives”. Definisi tersebut menyatakan bahwa manajemen
sumber daya manusia adalah pemanfaatan sumber daya manusia untuk mencapai
tujuan organisasi.
Adapun
pemanfaatan SDM tersebut harus didasarkan kepada program dan kebijakan yang di
ambil seperti dikemukakan oleh Haris (2000:4) menyatakan bahwa “Human resources management as programs,
policies, and practices for managing an organization’s work force”.
Pengertian
manajemen sumber daya manusia menurut para pakar tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah serangkaian kegiatan
pengelolaan sumber daya manusia yang memusatkan kepada praktek dan kebijakan,
serta fungsi-fungsi manajemen untuk mencapai tujuan organisasi.
Peran SDM dalam Lingkungan yang
Berubah
Sumber
daya manusia merupakan asset organisasi yang sangat vital, karena itu
keberadaannya dalam organisasi atau perusahaan tidak bisa digantikan oleh
sumber daya lainnya. Betapapun modern teknologi yang digunakan atau seberapa
banyak dana yang disipakan, namun tanpa dukungan sumber daya manusia yang
memiliki kemampuan profesional, semuanya menjadi tidak bermakna. Persoalan yang
muncul adalah bagaimana cara mendapatkan sumber daya manusia profesional sesuai
kualifikasi yang dibutuhkan, dan bagaimana mereposisi peran sumber daya manusia
dalam menghadapi tantangan bisnis global.
Dinamika
kehidupan manusia senantiasa berkembang seiring dengan perubahan lingkungannya,
baik internal maupun eksternal. Lingkungan internal manusia berkaitan dengan
tingkat penguasaan pengetahuan dan keterampilan, keluasan wawasan, habit, perasaan, harapan, kebutuhan,
filosofi, dan keyakinan diri. Lingkungan eksternal menyangkut berbagai unsur
yang ada diluar diri manusia, baik fisik maupun sosial, seperti: alam sekitar, teknologi,
sarana/prasarana, ekonomi, bisnis, pemerintah, politik, hukum, sosial
kemasyarakatan, budaya, dan hubungan internasional.
Dinamika
organisasi berjalan mengikuti perubahan dinamika kehidupan manusia, yang
mengarah pada kontinuitas proses pembelajaran menuju pengembangan sumberdaya
insani yang selaras dengan nilai kehidupan masyarakat dan dapat memicu kemajuan
organisasi. Keberhasilan organisasi merealisasikan visi dan misinya ditentukan
oleh sinergi dari semua unsur yang terlibat di dalamnya, baik internal maupun
eksternal.
Eksistensi
sumber daya manusia dalam kondisi lingkungan yang terus berubah tidak dapat
dipungkiri, oleh karena itu dituntut kemampuan beradaptasi yang tinggi agar
mereka tidak tergilas oleh perubahan itu sendiri. Sumber daya manusia dalam
organisasi harus senantiasa berorientasi terhadap visi, misi, tujuan, dan
sasaran organisasi di mana dia berada di dalamnya. Perumusan visi dan misi membutuhkan
kontribusi pemikiran dan partisipasi aktif banyak pihak. Hal ini akan tumbuh
dan berkembang dalam iklim organisasi pembelajaran yang mampu mensinergikan
berbagai kepentingan. [10]
Seiring
dengan posisi sumber daya manusia dalam organisasi, maka lingkungan internal
yang dijumpai mereka akan menyangkut kondisi ergonomis dalam hubungannya dengan
lingkungan fisik dan sosial. Lingkungan fisik organisasi menyangkut sarana dan
prasarana kerja, serta kondisi alam sekitar. Lingkungan sosial dalam organisasi
terbentuk karena adanya interaksi antarpekerja, komunikasi pegawai dengan
atasan ataupun bawahan, serta budaya organisasi yang berkembang di dalamnya.
Lingkungan eksternal organisasi menyangkut hubungannya dengan konsumen,
pesaing, pemasok, distributor, penyalur tenaga kerja, lembaga pemerintah,
lembaga keuangan, serikat pekerja, media massa, dan Spesial Interest Groups.
Seiring
dengan dinamika kehidupan manusia dan perkembangan organisasi yang semakin
kompetitif, maka kondisi lingkungan tersebut di atas (internal dan eksternal)
juga akan terus mengalami perubahan dan penyesuaian. Banyak cara yang dapat
dilakukan untuk mengantisipasi dan merespons perubahan tersebut, dan strategi
utama untuk memulai melakukan perubahan antara lain dengan melakukan hal-hal
berikut:
a. Pengendalian
diri secara lebih baik dengan disertai kearifan.
b. Beradaptasi
dengan perubahan yang terjadi sambil mengubah paradigma berpikir dan bertindak.
c. Komunikasi
yang efektif untuk membangun kepercayaan dan mengembangkan networking.
d. Penyelarasan
dan/ atau menyeimbangkan antara kematangan Intelectual
Quotion (IQ), Emotional Quotion (EQ), dan Spiritual Quotion (SQ).[11]
Dengan strategi di atas,
sekurang-kurangnya sumber daya manusia dalam organisasi akan melakukan berbagai
upaya untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan global yang cenderung bersifat
tanpa batas (bordeless). Dalam
situasi tersebut maka dibutuhkan kehadiran orang-orang yang mampu menjadi agen
pembeharuan (agent of chsngr). Mereka
diharapakan dapat bertindak sebagai driving
force dan brain power yang akan
memacu lahirnya kreativitas dan inovasi yang berbasis nilai-nilai kearifan,
untuk meralisasikan visi dan misi organisasi.[12] Inovasi menunjukkan
dorongan untuk senantiasa melakukan perubahan dengan menemukan sesuatu yang
baru dan yang lebih baik. Kemampuan yang inovatif harus didukung oleh cara
berpikir stratejik-visioner, yang dapat melihat tuntutan dan kebutuhan global
di masa depan dalam kurun waktu jangka panjang. Dengan demikian, di tengah
ketatnya persaingan global, organisasi dapat meraih keunggulan komparatif dan
keunggulan kompetitif, sehingga mampu meningkatkan laba (profit), manfaat (benefit), dan
tetap peduli terhadap kesejahteraan masyarakat (social welfare).
Seiring dengan kebutuhan tersebut,
mendorong perlunya rekonseptualisasi dan perubahan paradigma manajemen.
Orientasi manajemen tidak lagi pada analisis internal melalui cara berfikir
rasional, mekanistik, dan birokratik, melainkan bergeser pada sisi lain yang
lebih luas, yaitu dengan menekankan pada pentingnya analisis lingkungan
eksternal sebagai fondasi dalam merancang tindakan internal. [13]
Optimalisasi
Peran SDM melalui Pembangunan Pendidikan
Paul L. Tobing (2007) mengutip pendapat
Alfin Toffler tentang pembagian era ekonomi ke dalam tiga gelombang, yaitu (1)
ekonomi pertanian, (2) ekonomi industri, dan (3) ekonomi informasi. Gelombang
ketiga inilah yang kemudian disebut dengan generasi economy knowledge atau knowledge
management. Sejalan dengan pendapat tersebut, apabila ditelusuri dari
historis perkembangan paradigma manajemen sumber daya manusia telah terjadi
pergeseran peran SDM dalam organisasi pada setiap generasi manajemen.
Secara lebih rinci dapat dijelaskan
pandangan baru terhadap manajemen sumber daya manusia sebagai berikut:
a. Manajemen
SDM dipandang sebagai fungsi atau subsistem diskrit yang diharapkan mampu
melaksanakan transformasi knowledge, yang
diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas khusus. Misal: menyusun konfigurasi
struktur organisasi (staffing) efektif yang diarahkan untuk put the ringht person in the right place at
the right time, kemudian menetapkan sistem kompensasi yang diharapkan mampu
memotivasi performans dan retensi pegawai, serta melaksanakan manajemen
profesional menuju pencapaian visi dan keterlaksanaan misi organisasi.
b. Manajemen
SDM merupakan serangkaian sistem yang terintegrasi dan bertujuan untuk
meningkatkan performans seluruh sumber daya manusia. Misla melalui:
optimalisasi pemberdayaan setiap potensi yang ada di dalam organisasi,
pengaturan sistem dan mekanisme kompensasi yang berbasis prestasi (merit
system), serta penyelenggaraan pelatihan. Semua upaya tersebut bertujuan untuk
melahirkan inovasi, meningkatkan kemampuan dalam mencapai tujuan stratejik,
sehingga dapat menambah pendapatan sambil menekan biaya. Peran sumber daya
manusia mengalami pergerseran dari man-machine menjadi human capital, yang
memegang peran sentral dalam membantu organisasi untuk memenangkan persaingan.
c. Penerapan
konsep outsourcing digunakan untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas manajemen sumber daya manusia. Penetapan
kebijakan outsourcing dalam organisasi dilaksanakan melalui networking, yaitu
memberdayakan pola kemitraan dengan pihak eksternal, sehingga dapat mengurangi
jumlah tenaga kerja tetap. Di samping itu, ada mekanisme pemanfaatan teknologi
modern (khususnya teknologi komunikasi dan informasi atau ICT) dalam memberikan
layanan informasi secara timbal balik. Dengan menggunakan teknologi yang tepat diharapan
dapat mengurangi jumlah tenaga kerja tanpa menurunkan mutu layanannya.
d. Posisi
SDM dalam generasi knowledge management menjadi
semakin penting, terutaman berkaitan dengan perannya untuk berpartisipasi aktif
dalam berbagai knowledge yang
dimiliki serta menampilkan semangat belajar mandiri dan berinovasi. Sebagaimana
dikemukakan oleh Paul L. Tobing (2007:32), bahwa melalui proses belajar
(learning) digarapkan bisa memunculkan ide baru, inovasi, dan knowledge baru
yang akan menjadi komoditas utaman di era knowledge management.
Di sisi lain, untuk membantu mengembangkan
kecerdasan dalam seluruh aspek kemanusiaan dan membentuk kematangan
(kedewasaan) manusia dalam merespons era knowledge economy diperlukan sentuhan
dan pendekatan pendidikan secara utuh, yaitu mencakup kemampuan cognitive untuk
meningkatan IQ, kemampuan affective untuk mematangan EQ dan SQ, dan kemampuan
psychomotoric untuk melahirkan manusia-manusia unggul yang terampil.[14] Proses pendidikan
merupakan proses terbuka yang mendapat pengaruh dari berbagai sumber, oleh
karena itu harus di koordinasikan dengan baik agar membuahkan hasil optimal
sesuai dharapan organisasi. Dalam hal ini peran organizational leraning menjadi
penting, terutama untuk membantu menumbuh kembangkan bisnis.
Learning process dalam paradigma
organizational learning telah bergeser dari sistem traditional ke sistem modern
yang berbasis media e-learning, sehingga proses belajar bisa berlangsung di
mana pun orang berada. Hal ini tentu saja didukung oleh penggunaan ICT
(information and communication technology) yang semakin intensif, disertai
networking yang semakin luas bahkan tanpa mengenal batas (borseless). Kebijakan
ataupun keputusan bisnis tidak perlu hanya dilakukan di dalam ruang rapat
pimpinan, tetapi bisa juga dilakukan secara mobile, lewat penggunaan telepon
celular. Bisnis dapat dikendalikan dari mana saja.
Secara skematis, saling keterhubungan dan
ketegantungan antara pendidikan dengan perkembangan bisnis dalam merespons
kebutuhan sumber daya manusia unggul yang mampu menampilkan kinerja bermutu,
dapat dilukiskan melalui gambar berikut.
Sumber: Gaffar, Moch. Fakry, dimodifikasi
penulis (2007), Dimensi Pendidikan dalam Bisnis.
Gambar 3.1
Saling Keterkaitan antara Pendidikan
dan Bisnis dalam Merespon Kebutuhan Sumberdaya Manusia Unggul
Konsep
learning orgganization berkenaan
dengan berbagai upaya untuk melaksanakan pembelajaran secara terorganisasi,
sehingga bisa mencapai tujuan yang diharapkan, terutama dalam rangka membentuk
kematangan pribadi dan dalam bermasyarakat.peluang bisnis biasanya hanya
ditangkap secara tepat oleh mereka yang memiliki knowledge dan naluri bisnis tinggi yang di tunjang oleh sikap,
jiwa, dan perilaku wirausaha. Namun, hal tersebut dapat dikembangkan oleh
orang-orang melalui proses learning secara
sungguh-sungguh, dengan didukung oleh penyediaan dan penggunaan fasilitas dan
sumber belajar, serta teknologi pembelajaran yang relevan.
Dengan
demikian, fokus learning organization sesungguhnya
adalah bagaimana meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dalam berorganisasi,
sehingga tercipta sinergi kelembagaan yang berkelanjutan. Nilai-nilai individu
terintegrasi pada budaya organisasi yang beradab dan bermartabat dengan
didukung oleh komitmen kuat terhadap visi yang diyakini bersama. Proses belajar
(learning) berorientasi pada
kebutuhan untuk terus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, sejalan dengan
tuntutan perubahan dalam berbagai bidang kehidupan. Di era knowledge management, proses learning dalam dunia bisnis di arahkan
untuk mengangkat tacit knowledge menjadi
explicit knowledge, sehingga setiap
orang bisa saling berbagi (sharing) untuk bersama-sama meningkatkan penguasaan
knowledge dan kompetensinya.[15] Misalnya terkait denga
wawasan konseptual dan praktis tentang hal-hal berikut:
a. Sistem
bisnis yang berlaku, mulai dari sistem konvensional sampai ke virtual
enterprise
b. Kondisi
masyarakat multi kultur
c. Sinergi
sumberdaya internal
d. Komoditas
yang dibisniskan
e. Perkembangan
teknologi informasi (ICT) dalam bisnis
f.
Kecenderungan perilaku para pebisnis
g. Perilaku
ekonomi nasional maupun internasional
h. Perubahan
permintaan pasar
i.
Permberdayaan networking dalam
mengembangkan bisnis
j.
Isyu dan masalah penting (crucial) terkait
mutu sumber daya manusia.
Peningkatan
mutu sumber daya manusia dapat dilakukan dengan berbagai cara dan strategi,
baik melalui pre-service education maupun in-service education. Di era
knowledge management, persaingan bisnis mengarah pada kondisi knowledge-based
economy. Keunggulan mutu sumberdaya manusia akan ditandai oleh sinergi antara
keluasan penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan memanfaatkan teknologi
informasi, yang diwujudkan dalam perilaku keseharian secara nyata. Pada
gilirannya, hal ini akan mendorong organisasi untuk meraih competitive
advantages and comparative advantages.
Fungsi-fungsi Manajemen SDM
Salah
satu aspek penting yang akan menentukan keberhasilan ataupun kegagalan dalam
organisasi adalah implementasi manajemen SDM.
Secara garis besar, fungsi manajemen SDM dapat dibedakan dalam dua
dimensi, yaitu fungsi manajerial dan fungsi operasif.
Dilihat
dari dimensi manajerial sekurang-kurangnya ada empat fungsi esensial, yaitu:
perencanaan (planning), staffing, pergerakan (directing), pembinaan
(supervising), dan pengendalian (controlling).[16] Fungsi planning (perencanaan)
merupakan langkah awal yang dilakukan dalam proses manajemen SDM, yaitu dengan
menyusun rancangan sekitar kebutuhan SDM organisasi. Perencanaan SDM menyangkut
penetapan jumlah dan kualifikasi yang dibutuhkan untuk melaksanakan semua
program kerja dalam rangka mencapai visi, misi, dan tujuan organisasi. Dalam
hal ini dirancang atas dasar job analysis, job description, job specification,
dan job evaluation. Atas dasar rancangan tersebut kemudian dirumuskan job
qualification, untuk keperluan penetapan pengadaan pegawai.
Aktivitas
terpenting dalam fungsi staffing yaitu mendesain struktur organisasi yang
menggambarkan interelasi antarpekerjaan, antarpersonalia, dan faktor-faktor
fisik lainnya, yang kesemuanya dijadikan dasar untuk menempatkan orang-orang di
dalam struktur tersebut sesuai keahlian masing-masing, put the right men in the right job. Seiring dengan perjalanan
waktu, posisi personil dalam organisasi akan mengalami perubahan dan
perkembangan, misalnya melalui program: promosi
yaitu kenaikan pangkat dan/atau jabatan yang biasanya diberikan sebagai
salah satu bentuk penghargaan bagi pegawai yang berprestasi; mutasi yaitu pemindahan pegawai dari
satu lokasi ke lokasi lain atau dari posisi satu ke posisi lain secara
horisontal; rotasi yaitu pergantian atau
pertukaran personil antarposisi, biasanya bertujuan untuk mengurangi kejenuhan
(rasa bosan) dengan memberikan suasana baru; demosi yaitu penurunan pangkat dan/atau jabatan, yang baisanya
merupakan salah satu bentuk sanksi bagi pegawai yang melakukan kesalahan; dan retensi yaitu pemilihan personil yang
dinilai masih dibutuhkan dan menunjukkan produktivitas tinggi dengan pegawai
yang sudah memasuki masa pensiun atau menunjukkan produktivitas yang terus
menurun.[17]
Fungsi
directing yaitu menggerakkan orang-orang untuk bekerja dan berpartisipasi
sesuai bidang tugasnya secara efektif dan efisien, menuju arah yang diinginkan
organisasi. Dalam implementasinya fungsi ini didukung oleh program motivating,
leading, communicating, and deployment. Motivating berkaitan erat dengan upaya
organisasi untuk menumbuhkan semangat kerja personil. Leading merupakan program
yang di fokuskan untuk mempengaruhi dan memberi inspirasi kepada orang-orang
agar mereka bisa menampilkan kinerja produktif yang bermutu. Communicating
merupakan media untuk menciptakan kerjasama dan koordinasi dalam menjalankan
tugas pokok masing-masing personil, sehingga target organisasi dapat tercapai
secara efektif dan efisien. Deployment adalah pemanfaatan personil dengan
cara-cara yang membuat orang betah bekerja, terutama berkaitan dengan upaya
menciptakan suasana kerja yang ergonomis dalam rangka implementasi tugas (job)
maisng-masing.
Fungsi
pembinaan (supervising) dimaksudkan untuk menjaga moral kerja dan komitmen
personil terhadap organisasi, sehingga mereka memiliki loyalitas dan dedikasi
yang tinggi. Dalam implementasinya, pimpinan organisasi tidak hanya
berorientasi pada pemberian hukuman (sanksi) kepada personil yang melakukan
kesalahan, melainkan lebih mengutamakan pendekatan kemanusiaan melalui
pemberian stimulasi untuk selalu memperbaiki diri dalam menampilkan kinerja
yang bertanggung jawab.
Fungsi
controlling diarahkan untuk mengukur dan menilai sejauh mana rencana dapat
dilaksanakan dan tujuan dapat direalisasikan, jika terdapat penyimpangan segera
dilakukan tindakan perbaikan. Melalui fungsi ini manajer SDM dapat menentukan
di mana tindakan perbaikan dilakukan dan bagaimana cara terbaik untuk
menyempurnakannya, apakah dengan menyusun replanning, mereposisi personil,
memberi arahan yang lebih jelas dab tegas, atau melaksanakan pengendalian
secara transparan dan profesional.
BAB IV
SUMBER DAYA MANUSIA DALAM ISLAM
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dalam rangka menjadi
khalifah dimuka bumi, hal ini banyak dicantumkan dalam al-Qur’an dengan maksud
agar manusia dengan kekuatan yang dimilikinya mampu membangun dan memakmurkan
bumi serta melestarikannya. Untuk mencapai derajat khalifah di buka bumi ini
diperlukan proses yang panjang, dalam Islam upaya tersebut ditandai dengan
pendidikan yang dimulai sejak buaian sampai ke liang lahat.
Di atas telah disinggung bahwa pendidikan Islam
memadukan dua segi kepentingan manusia yaitu keduniaan dan keagamaan. Berbeda
dengan pendidikan sekuler yang hanya meninjau pada satu aspek saja, yaitu
keduniaan saja dan segala bentuk keberhasilan cenderung dinyatakan dengan
jumlah materi yang dimiliki atau jabatan serta pengaruh di tempat individu
berada. Akibatnya telah dapat dilihat bahwa kehampaan yang terjadi pada
masyarakat Eropah dan Amerika adalah kehampaan spiritual yang sebagai tempat
pelariannya ke tempat-tempat hiburan, alcoholism dan bentuk lainnya. Dengan
demikian kemajuan pada satu aspek saja dalam kehidupan ini menyebabkan
ketimpangan dalam perjalanan hidup manusia yang kemudian akan kembali menjadi
permasalahan kemanusiaan khususnya sumber daya manusia.
Menurut Hadawi Nawawi (1994) Sumber daya
manusia (SDM) adalah daya yang bersumber dari manusia, yang berbentuk tenaga
atau kekuatan (energi atau power). Sumber daya manusia mempunyai dua ciri, yaitu
: (1) Ciri-ciri pribadi berupa pengetahuan, perasaan dan keterampilan (2)
Ciri-ciri interpersonal yaitu hubungan antar manusia dengan lingkungannya.
Sementara Emil Salim menyatakan bahwa yang dimaksud dengan SDM adalah kekuatan
daya pikir atau daya cipta manusia yang tersimpan dan tidak dapat diketahui
dengan pasti kapasitasnya. Beliau juga menambahkan bahwa SDM dapat diartikan
sebagai nilai dari perilaku seseorang dalam mempertanggungjawabkan semua
perbuatannya, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat dan berbangsa. Dengan demikian kualitas SDM ditentukan oleh sikap
mental manusia (Djaafar, 2001 : 2).
T. Zahara Djaafar (2001 : 1) menyatakan
bahwa bila kualitas SDM tinggi, yaitu menguasai ilmu dan teknologi dan mempunyai
rasa tanggung jawab terhadap kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya dan
merasa bahwa manusia mempunyai hubungan fungsional dengan sistem sosial,
nampaknya pembangunan dapat terlaksana dengan baik seperti yang telah
negara-negara maju, dalam pembangunan bangsa dan telah berorientasi ke masa
depan. Tidak jarang di antara negara-negara maju yang telah berhasil
meningkatkan kesejahteraan bangsanya adalah bangsa yang pada mulanya miskin
namun memiliki SDM yang berkualitas.
Dalam Islam sosok manusia terdiri dua
potensi yang harus dibangun, yaitu lahiriah sebagai tubuh itu sendiri dan
ruhaniyah sebagai pengendali tubuh. Pembangunan manusia dalam Islam tentunya
harus memperhatikan kedua potensi ini. Jika dilihat dari tujuan pembangunan
manusia Indonesia yaitu menjadikan manusia seutuhnya, maka tujuan tersebut
harus memperhatikan kedua potensi yang ada pada manusia. Namun upaya kearah
penyeimbangan pembangunan kedua potensi tersebut selama 32 tahun masa orde baru
hanya dalam bentuk konsep saja tanpa upaya aplikasi yang sebenarnya. Telah
dimaklumi bahwa pendidikan Islam memandang tinggi masalah SDM ini khususnya
yang berkaitan dengan akhlak (sikap, pribadi, etika dan moral).
Kualitas SDM menyangkut banyak aspek, yaitu
aspek sikap mental, perilaku, aspek kemampuan, aspek intelegensi, aspek agama,
aspek hukum, aspek kesehatan dan sebagainya (Djaafar, 2001 : 2). Kesemua aspek
ini merupakan dua potensi yang masing-masing dimiliki oleh tiap individu, yaitu
jasmaniah dan ruhaniah. Tidak dapat dipungkiri bahwa aspek jasmaniah selalu
ditentukan oleh ruhaniah yang bertindak sebagai pendorong dari dalam diri
manusia. Untuk mencapai SDM berkualitas, usaha yang paling utama sebenarnya
adalah memperbaiki potensi dari dalam manusia itu sendiri, hal ini dapat
diambil contoh seperti kepatuhan masyarakat terhadap hukum ditentukan oleh
aspek ruhaniyah ini. Dalam hal ini pendidikan Islam memiliki peran utama untuk
mewujudkannya.
Tantangan manusia pada millennium ke-3 ini
akan terfokus pada berbagai aspek kompleks. Khusus dibidang pendidikan Aly dan
Munzier (2001 : 227) menyebutkan bahwa tantangan pendidikan Islam terbagi atas
2, yaitu tantangan dari luar, yaitu berupa
pertentangan dengan kebudayaan Barat abad ke-20 dan dari dalam Islam itu
sendiri, berupa kejumudan produktivitas keislaman.
Abdul Rachman Shaleh (2000 : 203) menyatakan
bahwa untuk menjawab tantangan dan menghadapi tuntutan pembangunan pada era
globalisasi diisyaratkan dan diperlukan kesiapan dan lahirnya masyarakat modern
Indonesia. Aspek yang spektakuler dalam masyarakat modern adalah penggantian
teknik produksi dari cara tradisional ke cara modern yang ditampung dalam
pengertian revolusi industri. Secara keliru sering dikira bahwa modernisasi
hanyalah aspek industri dan teknologi saja. Padahal secara umum dapat dikatakan
bahwa modernisasi masyarakat adalah penerapan pengetahuan ilmiah yang ada
kepada semua aktivitas dan semua aspek hidup masyarakat.
Dalam upaya pembangunan masyarakat, tidak
ada suatu masyarakat yang bisa ditiru begitu saja, tanpa nilai atau bebas
nilai. Hal ini telah terlihat dengan peniruan dan pengambilan pola kehidupan
sosialis, materialistis yang ditiru masyarakat Indonesia. Untuk itu perlu
pembangunan di bidang agama. A. R. Saleh (2000 : 205) menyatakan bahwa
pembangunan di bidang agama diarahkan agar semakin tertata kehidupan beragama
yang harmonis, semarak dan mendalam, serta ditujukan pada peningkatan kualitas
keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan YME, teciptanya kemantapan kerukunan
beragama, bermasyarakat dan berkualitas dlam meningkatkan kesadaran dan peran
serta akan tanggung jawab terhadap perkembangan akhlak serta untuk secara
bersama-sama memperkukuh kesadaran spiritual, moral dan etik bangsa dalam
pelaksanaan pembangunan nasional, peningkatan pelayanan, sarana dan prasarana
kehidupan beragama.
Masyarakat yang sedang membangun adalah
masyarakat yang sedang berubah dan terkadang perubahan tersebut sangat mendasar
dan mengejutkan. Masyarakat yang sedang dibangun berarti masyarakat terbuka,
yang memberi peluang untuk masuknya modal, ilmu dan teknologi serta nilai dan
moral asing yang terkadang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Untuk itu
peran agama diharapkan dapat berfungsi sebagai pengarah dan pengamanan
pembangunan nasional. Dalam masyarakat yang sedang berubah ini terdapat objek
paling rawan yaitu generasi muda, untuk itu prioritas perhatian pada generasi
muda ini perlu ditingkatkan demi keberhasilan pembangunan.
Peningkatan kualitas manusia hanya dapat
dilakukan dengan perbaikan pendidikan. A. R. Saleh (2000 : 205) menyatakan ada
beberapa ciri masyarakat atau manusia yang berkualitas, yaitu :
1. Beriman
dan bertakwa kepada Tuhan YME, serta berakhlak mulia dan berkepribadian
2. Berdisiplin,
bekerja keras, tangguh dan bertanggung jawab
3. Mandiri,
cerdas dan terampil
4. Sehat
jasmani dan rohani
5. Cinta
tanah air, tebal semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial
Generasi yang berkualitas yang akan
disiapkan untuk menyongsong dan menjadi pelaku pembangunan pada era globalisasi
dituntut untuk meningkatkan kualitas keberagamaannya (dalam memahami,
menghayati, dan mengamalkan agamayang tetap bertumpu pada iman dan aqidah).
Dengan kata lain masyarakat maju Indonesia menuntut kemajuan kualitas hasil
pendidikan Islam. A. R. Saleh menyatakan bahwa modernisasi bagi bangsa
Indonesia adalah penerapan ilmu pengetahuan dalam aktivitas pendidikan Islam
secara sistematis dan berlanjut. Tujuan pendidikan nasional termasuk tujuan
pendidikan agama adalah mendidik anak untuk menjadi anak manusia berkualitas
dalam ukuran dunia dan akhirat.
Untuk mewujudkan manusia dan masyarakat
Indonesia yang berkualitas, ditetapkan langkah-langkah dalam pembinaan
pendidikan agama yaitu :
1. Meningkatkan
dan menyelaraskan pembinaan perguruan agama dengan perguruan umum dari tingkat
dasar sampai perguruan tinggi sehingga perguruan agama berperan aktif bagai
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Pendidikan
agama pada perguruan umum dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi
akan lebih dimantapkan agar peserta didik menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan YME serta pendidikan agama berperan aktif bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3. Pendidikan
tinggi agama serta lembaga yang menghasilkan tenaga ilmuan dan ahli dibidang
agama akan lebih dikembangkan agar lebih berperan dalam pengembangan
pikiran-pikiran ilmiah dalam rangka memahami dan menghayati serta mampu
menterjemahkan ajaran-ajaran agama sesuai dan selaras dengan kehidupan
masyarakat. (A. R. Saleh, 2000 : 206).
DAFTAR PUSTAKA
Riani, Asri Laksmi. 2012.
Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta. GRAHA ILMU.
Rosidah, Ambar Teguh
Sulistyani. 2009. Sumber daya manusia
(konsep, teoridan pengembangan dalam
konteks organisasi). Yogyakarta. GRAHA ILMU.
Dessler, Gary (2000): Human Resource Management, International
Edition, 8th Ed.
Prentice Hall, Inc., Upper Saddlr River, New Jersey.
Abu Sinn, Ahmad Ibrahim. 2008.
Manajemen Syariah: Sebuah Kajian Historis
dan Kontemporer. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
[1]
Dr. Muhammad as-Sayyid al-Dimyathi, Tauliyah al-Wadzaif al-Ammah, 1971, hlm.
53.
[2]
Ibn Taimiyah, Al Siyasah al Syar’iyah, hlm. 21.
[3]
Ahmad Ibrahim Abu Sinn, Jakarta, 1996, hlm. 131.
[4]
Ahmad Ibrahim Abu Sinn, Jakarta, 1996, hlm. 132.
[5]
Ibid, hlm. 17.
[6]
Ibid, hlm. 22.
[7]
Maqhasid al-Syariah wa Makamuha, ‘Ilal al-Fasi
[8]
Taujit al-Islam, Mahmud Syaltut
[9]
Ibid, hlm. 35.
[10]
Ibid, hlm. 34.
[11]
Tjutju Yuniarsih, Manajemen Sumber Daya
Manusia, hal. 64.
[12]
Ibid., 36.
[13]
Ibid., 34.
[14]
Tjutju Yuniarsih, Op. Cit,. 37.
[15]
Paul L. Tobing, Op. Cit., 39.
[16]
Tjutju Yuniarsih dan suwatno, Manajemen
Sumber Daya Manusia, hlm. 82.
[17]
Tjutju Yuniarsih dan Suwatno, Op. Cit., 83.