Assalamulaikum, Baik lah kali ini saya akan menshare mengenai Makalah Sejarah Kebudayaan Islam KEPEMIMPINAN UMAT ISLAM PASCA NABI MUHAMMAD SAW, silakan anda baca semuanya semoga bermamfaat dan PESAN saya jangan hanya di COPY dan PASTE tetapi dibaca di cerna dan dipahami semoga bermamfaat karena makalah ini dari berbagai referensi, bisa saja saya BLOCK artikel ini dari COPAS, oke semoga bermamfaat untuk semuanya dan semoga ilmu kita bertambah dan terus mempelajari Sejarah Islam.
Makalah Sejarah Kebudayaan Islam KEPEMIMPINAN UMAT ISLAM PASCA NABI MUHAMMAD SAW
Latar
Belakang Masalah
Dalam catatan sejarah persoalan pertama yang
muncul kepermukaan setelah Nabi Muhammad wafat adalah persoalan suksesi. Siapa
yang akan menggantikan kedudukan beliau sebagai kepala pemerintahan. Karena
sejak Rasulullah saw menjadi pemimpin politik dan pemerintahan di Madinah,
tidak pernah sedikit pun beliau membicarakan siapa yang berhak menjadi
penggantinya, apalagi menunjuk penggantinya kelak. Untuk menyelesaikan kebingungan umat Islam digunakanlah prinsip musyawarah yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. yang pada akhirnya
terpilihlah Abu Bakar As-sidiq sebagai khalifah pertama pengganti Rasulullulah.
Tata cara pemilihan pemimpin tersebut terus dipakai oleh umat islam untuk
memilih khalifah berikutnya, seperti memilih Umar bin Khattab, Usman bin Affan
dan Ali bin Abi Thalib. Kepemimpinan
empat sahabat inilah yang dikenal dengan Khulfaur Rasyidin.
Selama 30 tahun memimpin, Khulafaur Rasyidin menjalankan pemerintahan
dengan bijaksana. Mereka dapat menyelesaikan persoalan dengan baik, tidak hanya
masalah sosial politik tetapi juga masalah keagamaan. Hal itu terjadi karena
mereka adalah para sahabat Raasulullah yang paling dekat, sehingga mereka
memiliki otoritas keagamaan yang cukup mempuni.
Berdasarkan permasalahan diatas penulis tertarik untuk mengetahui lebih
lanjut tantang kepemimpinan umat Islam pasca meninggalnya Rasulullah Saw.
Sehingga kita sebagai umat penerusnya tidak hanya sekedar mengetahui sejarah
kehidupan mereka tetapi juga berusaha untuk melanjutkannya.
Dalam catatan sejarah Islam diketahui
bahwa Muhammad Saw, selain sebagai Rasulullah, juga sebagai pemimpin
pemerintahan dan pemimpin masyarakat. Setelah beliau wafat, fungsinya sebagai rasul
tidak dapat digantikan atau dialihkan kepada orang lain. Karena fungsi rasul
merupakan hak prerogratif Allah, bukan wilayah kekuasaan manusia. Akan tetapi,
sebagai kepala pemerintahan dan pemimpin masyarakat, posisi tersebut harus ada
yang menggantikan. Oleh karena itu, pasca wafatnya rasulullah Saw, terjadi
kebingungan di kalangan masyarakat muslim ketika itu. Bahkan ada di antara
mereka yang tidak percaya kalau Muhammad sebagai seorang Nabi utusan Allah,
juga bisa wafat. Melihat gejala seperti ini, Abu Bakar mendatangi kelompok
tersebut dan langsung berpidato. Dalam pidatonya ia mengatakan “Wahai manusia, siapa yang
memuja Muhammad,
ssungguhnya Muhammad telah wafat, tetapi siapa yang memuja Allah, Allah hidup
selama-lamanya, tidak akan pernah mati. Untuk memperkuat pidatonya itu, Abu Bakar mengutip ayat al-Qur’an surat Âli Imrân
ayat 144 :
Artinya:
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
Selain itu, dalam situasi seperti ini, muncul beberapa kelompok masyarakat muslim Madinah yang tengah bermusyawarah guna menentukan siapa pengganti Muhammad Saw sebagai pemimpin pemerintahan dan pemimpin masyarakat. Mereka, kaum Anshar tengah mendiskusikan siapa yang akan menggantikan posisi politik dan kepemimpinan Muhammad Saw. Mereka mencalonkan kandidatnya, bernama Sa’ad bin Ubadah. Sementara dari Muhajirin Umar mencalonkan Abu Bakar. Hasil dari perdebatan tersebut, muncullah Abu Bakar as-Shiddiq sebagai pemimpin umat Islam. Kemudian dilanjutkan oleh sahabat Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Kepemimpinan para sahabat yang empat ini dikenal dalam sejarah Islam dengan sebutan Khulafaur Rasyidin, yakni para pemimpin pengganti yang mendapat petunjuk dari Allah SWT.
Selama memimpin, mereka menjalankan
pemerintahan dengan bijaksana. Mereka dapat menyelesaikan persoalan dengan
baik, tidak hanya masalah sosial politik, juga masalah-masalah keagamaan. Hal
itu terjadi karena mereka adalah para sahabat rasulullah yang paling dekat,
sehingga mereka memiliki otoritas keagamaan yang cukup mumpuni. Meskipun hanya berlangsung selama lebih
kurang 30 tahun, masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, merupakan masa yang sangat penting
dalam perjalanan sejarah umat Islam. Karena pada masa ini, terjadi kemajuan
yang cukup signifikan dalam banyak hal, terutama dalam bidang sosial politik
dan pemerintahan. Pada paruh pertama pemerintahan khalifah Abu Bakar, misalnya,
pergolakan sosial terjadi karena munculnya kelompok pembangkang yang terdiri
dari para nabi palsu, mereka yang menolak membayar zakat, dan gerakan kaum murtad.
Semua itu dapat diselesaikan dengan baik oleh khalifah Abu Bakar.
Keberhasilan
khalifah Abu Bakar dalam mengatasi berbagai gejolak sosial politik yang terjadi
pasca wafatnya Rasululah Saw, membuat suasana politik menjadi terkendali,
sehingga ia mampu menjalankan program pengembangan wilayah kekuasaan Islam.
Persoalan
pertama yang muncul kepermukaan setelah Nabi Muhammad wafat adalah persoalan
suksesi. Siapa yang akan menggantikan kedudukan beliau sebagai kepala
pemerintahan. Karena sejak Rasulullah saw menjadi pemimpin politik dan
pemerintahan di Madinah, tidak pernah sedikit pun beliau membicarakan siapa
yang berhak menjadi penggantinya, apalagi menunjuk penggantinya kelak. Bahkan
dalam menjalankan sistem
pemerintahan, Rasulullah saw menyerahkan kepada umat Islam. Tetapi ada satu
prinsip
dasar yang diajarkan Nabi saw. Dalam bermasyarakat dan bernegara, yaitu musyawarah
atau syura. Prinsip musyawarah ini
dianut oleh para sahabat, dibuktikan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam setiap
pergantian pemimpin
islam, seperti Khulafaur
Rasyidin.
Abu
bakar memangku
jabatan khalifah berdasarkan pilihan yang berlangsung secara demokratis dalam
pertemuan di tsaqifah (balairung) Bani Sa’idah. Tata cara tersebut sesuai dengan
sistem
perundingan yang
di pergunakan pada zaman modern sekarang ini. Kaum Anshor, penekankan pada
persyaratan jasa yang mereka telah berikan bagi umat islam dan perkembangan
islam. Karena itu, mereka mengajukan calon sebagai kandidat pemimpin, yaitu Sa’ad bin Ubadah. Sementara kaum
muhajirin menekankan aspek kesetiaan dan perjuangan pada masa-masa awal
pengembangan islam di Mekkah
hingga Madinah.
Untuk itu, mereka nama calon, yaitu Ubaidah bin jarah. Sedangkan ahlul bait
menghendaki Ali bin Abi
Thalib
dicalonkan sebagai khalifah.
Pengajuan nama Ali bin Abi
Thalib
dalam permusyawaratan tersebut di dasari atas jasa, kedudukan dan statusnya
sebagai anak angkat sekaligus menantu Rasulullah saw.
Perdebatan
siapa yang paling berhak menggantikan kedudukan Nabi Muhammad saw. sebagai kepala pemerintahan, hampir menimbulkan konflik
internal dikalangan umat islam, antara Muhajirin dan Anshor
dan Bani Abbas. Melalui perdebatan
panjang dengan argumentasi masing-masing, akhirnya Abu Bakar disetujui secara
aklamasi menduduki jabatan khalifah.
Selesai
terpilih sebagai kepala negara
dan kepala pemerintahan, Abu bakar berpidato sebentar menguraikan apa yang akan di
lakukannya kelak. Isi pidato itu antara lain : “… Saudara-saudara sekalian, sekarang saya terpilih sebagai khalifah.
Meskipun saya bukan yang terbaik dari siapa diantara kalian , tetapi saya
harus tetap menerima amanah ini. Oleh karena itu, bantulah saya bila berada dalam jalan yang benar.
Perbaikilah saya bila berada pada jalan yang salah.” Lalu pidato itu diakhiri
dengan ucapan, “.. patuh lah kepadaku sebagaimana aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Jika aku tidak
memantuhi Allah dan rasul-Nya,
jangan sekali-kali kalian memantuhi aku.”
Pidato
tersebut menggambarkan kepribadian Abu bakar dan kejujuran serta ketulusannya
sebagai seorang pemimpin umat islam yang sangat demokratis. Beliau merasa bahwa tugas
yang diembannya tidak akan berjalan dengan baik kalau tidak mendapatkan
dukungan dari para sahabatnya. Karena itu, ia menginginkan agar masyarakat ikut
serta mengontrol perjalanan kepemimpinannya agar pelaksanaan pemerintahan
berjalan dengan baik. Itulah tipe seorang pemimpin yang sangat demokratis, ia tidak
gila kedudukan, jabatan dan harta.
Umar
bin Khattab diangkat dandipilih oleh para pemuka masyarakat dan disetujui secara aklamasi oleh umat
islam. Proses pengangkatan ini diawali dengan ijtihad Abu Bakar yang meminta
Umar bin Khattab
bersedia menggantikan kedudukannya kelak, jika ia meninggal dunia. Ijtihad ini didasari atas
kenyataan dan pengalaman sejarah masa-masa awal pemilihan khalifah, yaitu
timbulnya krisis politik
dan hampir berakibat pada munculnya konflik internal umat islam,
jika tidak segera diselesaikan oleh Umar bin Khatab dan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Berdasarkan
pengalaman sejarah ini, maka Khalifah Abu Bakar meminta Umar untuk menjadi penggantinya. Permintaan ini
pun disetujui
oleh Umar,
hanya Umar
meminta agar persoalan ini dibicarakan terlebih dahulu dikalangan tokoh
masyarakat, supaya tidak terjadi kesalahpahaman. Permintaan ini dipenuhi, untuk
itu kemudian Abu Bakar meminta pendapat para sahabat
mengenai pilihannya itu, ketika mereka menjenguk pada saat Khalifah Abu bakar terbaring sakit
di tempat tidur. Pilihan itupun disetujui oleh para pemuka masyarakat, kemudian
Abu bakar menulis surat wasiat untuk itu dan membai’at Umar bin Khatab.
Beberapa hari kemudian, Abu Bakar
Ash-shiddiq
meninggal dunia. Peristiwa ini terjadi pada Jumadil Akhir tahun 13 H/634 M.
Sedang
Usman bin Affan dipilih dan diangkat oleh dewan yang terdiri dari enam orang
sahabat. Dewan ini dibentuk Khalifah
Umar bin Khattab
ketika khalifah sedang sakit. Prosedur
ini di tempuh guna memaksimalkan potensi yang ada dimasing-masing sahabat,
selain masih tetap mempertahankan
prinsip syura, yang diajarkan Nabi Muhammad saw. Hanya modelnya yang
berbeda dibanding dengan model pemilihan masa-masa sebelumnya. Pemilihan
melalui dewan Enam hari,diharapkan menghasilkan calon pemimpin handal yang
mampu menjalankan amanah demi penegakan Islam dan pengembangannya ke luar Jazirah Arab.
Seperti
ditegaskan pada bagian terdahulu bahwa proses pemilihan khalifah setelah Umar bin
Khatab berbeda dengan proses sesudahnya. Pasca Khalifah Umar bin Khatab,
pemilihan dilakukan melalui dewan. Dewan ini dibentuk ketika Khalifah Umar bin
Khattab sakit. Pembentukan
lembaga ini bertjuan untuk mengatasi
persoalan yang akan dihadapi, terutama soal penggantian kepemimpinan
setelahnya. Dewan ini terdiri dari Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin
Ubaidilah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf,
dan Sa’ad bin Waqqash.
Dewan ini bertugas memilih salah seorang di antara mereka yang akan
menggantikan sebagai Khalifah.
Abdurrahman bin Auf dipercayakan menjadi ketua panitia pemilihan tersebut.
Ada
sebuah peraturan yang harus mereka ketahui, yaitu proses pemilihan harus
didasari atas prinsip syura , musyawarah dan mufakat. Apabila dalam proses
pemilihan tersebut salah seorang diantara mereka mendapatkan suara terbanyak,
meka
dialah yang berhak diangkat
menjadi khalifah. Namun apabila terdapat suara seimbang, maka keputusan harus
di selesaikan lewat pengadilan,
dan yang menjadi hakimnya adalah Abdullah bin Umar.
Setelah
Umar bin Khattab
meninggal dunia, maka Abdurahman bin Auf menjalankan tugasnya sebagai ketua
panitia yang bertugas menyeleksi calon peserta pemilihan . Tugas pertama
dijalankannya
adalah menghubung beberapa tokoh terkemuka dari kalangan Muhajirin dan Anshor
yang diminta pertimbangan. Kemudian menghubungi keenam calon yang telah
disepakati bersama dalam dewan dan Khalifah Umar bin Khattab.
Selain
menghubung tokoh berpengaruh, Abdurrahman bin Auf mendengarkan pendapat dari
rakyat kecil, seperti para petani, penggembala, pedagang kecil dan lain- lain. Setelah memperoleh bahan
masukan dan pertimbangan dari berbagai lapisan masyarakat, Abdurrahman bin Auf
mempersiapkan proses pemilihan untuk segera dilaksanakan.
Namun proses pemilihan yang semula diinginkan berjalan sesuai dengan harapan, menemui
kesulitan, terutama dalam masalah calon peserta. Hal itu di sebabkan karena;
pertama, berdasarkan
pendapat umum bahwa mayoritas masyarakat menginginkan Usman bin Affan menjadi
khalifah. Kedua, dikalangan sahabat yang dicalonkan timbul perbedaan pendapat.
Abdurahman bin Auf cenderung kepada Usman bin Affan, sementara Sa’ad bin Abi Waqqash menginginkan
Ali bin Abi
Thalib
menjadi khalifah. Ketiga , diantara
sahabat Nabi yang di calonkan ada yang sedang di luar kota, sehingga
belum dapat diketahui pendapatnya. Keempat, baik Usman bin Affan maupun Ali bin Abi Thalib, masing-masing
memiliki keiinginan untuk menjadi Khalifah.
Demikianlah
problem yang dihadapi ketua panitia pelaksanaan pemilihan khalifah. Namun
berkat ketekunan dan kebijaksanaan
Abdurrahman bin Auf, akhirnya proses pemilihan berjalan lancar dan menghasilkan
sebuah keputusan yang memenangkan Usman bin Affan terpilih sebagai khalifah dengan perolehan suara 4
suara, sedangkan Ali bin Abi
Thalib,
memperoleh 2 suara. Kemenangan ini membawa Usman bin Affan ke kursi kekuasaan.
Untuk itu, kemudian Abdurrahman bin Auf mengangkat Usman bin Affan sebagai tanda
pengakuannya sebagai khaifah baru, pengganti khalifah terdahulu, yaitu Umar bin
Khatab.
Ketika
terpilih sebagai khalifah, Usman bin Affan telah berusia 70 tahun, usia yang
telah matang dan penuh kebijaksanaan. Namun sahabatnya banyak yang memanfaatkan situasi ini
untuk memperoleh keuntungan kelompoknya, seperti Bani Umayah dan para kerabatnya. Usman bin
affan menjadi khalifah selama 12 tahun.
Sementara
itu, tampilnya
Ali bin Abi
Thalib
ke pucuk pimpinan, ketika negara
tengah mengalami krisis sosial dan politik, akibat peristiwa terbunuhnya
khalifah Usman bin Affan oleh para pemberontak yang tidak setuju atas
berbagai kebijakan yang dikeluarkan selama masa pemerintahannya. Ali bin AbiThalib diangkat oleh para jamaah
umat islam dari sebagian besar adalah pemberontak. Dalam situasi seperti ini,
harus ada tindakan nyata untuk mengatasi krisis kepemimpinan. Akan tetapi,
tidak ada seorang pun ketika itu yang mau diangkat menjadi khalifah, selagi Ali
bin Abi thalib masih hidup.
C.
BERBAGAI
KABIJAKAN PEMERINTAHAN KHULAFAUR RASYIDIN
Sebagai khalifah pertama, Abu Bakar menghadapi persoalan politik
keagamaan, terutama penentang dari kaum murtad ( kaum riddah), memberantas nabi
palsu, dan mereka yang enggan membayar zakat. Untuk mengatasi hal tersebut,
Khalifah Abu Bakar melakukan musyawarah
dengan para sahabat, tindakan apa yang harus dilakukan. Meski terjadi perbedaan
pendapat, ia tetap tegar, bahkan dengan tegas ia mengatakan bahwa ia akan
memerangi semua golongan yang menyimpang dari kebenaran, sehingga semuanya
kembali ke jalan yang benar.
Ketegasan Khalifah Abu
Bakar ini disambut dan didukung oleh hampir seluruh umat islam. Untuk memerangi
masalah ini, dibentuklah sebelas pasukan. Ada langkah strategis yang dilakukan
khalifah sebelum melakukan serangan, yaitu pengiriman surat. Khalifah Abu Bakar mengirim surat kepada
mereka dan mengajak untuk kembali kepada ajaran islam yang benar, sesuai dengan
tuntunan Al-Qur’an dan Hadits. Usaha tersebut tidak mendapat respon positif,
bahkan mereka menunjukkan penentangannya.
Untuk mengatasi
ketidakstabilan politik karena gerakan kelompok penentang tersebut, Abu Bakar menyusun
kekuatan di Madinah dan membanginya menjadi sebelas batalion untuk dikirim ke
berbagai daerah pemberontakan. Kepada masing-masing komandan batalion, Abu
Bakar menyampaikan instruksi mengajak mereka yang terlibat dalam pemberontakan
agar kembali kepada ajaran islam . Apabila mereka menolak ajakan tersebut, maka mereka boleh
diperangi sampai habis.
Sebagian mereka ada yang
menerima ajakan tersebut dan kembali kepada ajaran islam tanpa peperangan,
namun sebagian mereka tetap bertahan pada sikapnya yaitu menentang ajaran islam, sehingga peperangan
tidak dapat dihindarkan. Khalid binal-Walid merupakan salah seorang komandan yang pertama kali diperintahkan
untuk memerangi Thulaihah dalam
peperangan Buzaka. Khalid berhasil
mengalahkan mereka, dan suku-suku yang tadinya terlibat dalam pemberontakan, akhirnya menerima
kembali ajakan untuk memeluk islam, termasuk suku Bani As’ad. Gerakan para nabi
palsu juga dapat dipatahkan oleh Khalid
bin al-Walid , setelah Ikhrimah dan
Syurabbil gagal mengalahkan kekuatan Musailamah Al-Kazzab. Pasukan Musailamah
dapat dipukul mundur oleh Khalid dalam peperangan di Yamamah tahun 633 M.
Musailamah dan pasukannya tewas mengenaskan di dalam benteng pertahanan mereka.
Dari empat tokoh gerakan inti
islam dua diantaranya tewas terbunuh dalam peperangan, yaitu Aswad al-Ansi dan Musailamah al-Kazzab. Sedangkan dua tokoh lainnya, yaitu Saj’ah dan Thulaihah selamat dan kembai kepada ajaran islam.
Setelah berhasil mengalahkan
pasukan pemberontak, pada tahun 633 Abu Bakar memerintahkan Khalid al-Walid
untuk menaklukkan wiliyah-wilayah perbatasan Syiria dan berhasil
melebarkan wilayah kekuasaan islam
hingga ke berbagai tempat bekas kekuasaan Persia dan Byzantium
Periode Umar bin Khattab
boleh dibilang periode yang cukup aman dan tentram. Tidak banyak pemberontakan
yang terjadi. Bahkan dalam catatan sejarah islam, periode kepemimpinan khalifah
Umar bin Khattab disebut sebagai masa yang cukup makmur, aman dan damai. Situasi
ini benar-benar dimanfaatkan untuk membangun sistem pemerintahan negara, agar
lebih efektif dan efisien, sehingga hasil pembangunan dapat dirasakan secara
merata kesegenap masyarakat yang berada dibawah kekuasaan pemerintahan islam.
Ada dua arah kebijakan
yang dilakukan khalifah Umar bin Khattab.
Ø Pertama, kebijakan internal, yaitu membangun sistem
pemerintahan dalam negeri dengan membentuk departemen-departemen yang menangani
masalah-masalah sosial politik dan sebagainya.
Ø Kedua, kebijakan eksternal, yaitu dengan berusaha
memperluas wilayah penyebaran islam keluar arah Jazirah Arabia.
Pembentukan beberapa departemen, merupakan suatu
kebutuhan yang tidak dapat dihindari lagi, karena wilayah kekuasan islam telah
mencapai Mesir dan beberapa wilayah lainnya di Jazirah Arabia. Untuk
mempermudah sistem ketatanegaraan dan pelayanan, maka dibentuklah
departemen-departemen tersebut. Model ini diadopsi dari sistem pemerintahan
Persia.
Tugas utama lembaga ini ialah menyampaikan perintah
khalifah kebeberapa daerah atau wilayah yang jauh dari Madinah. Untuk
melancarkan hubungan antar daerah, wilayah negara dibagi menjadi delapan
propinsi, yaitu Mekah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina dan
Mesir. Masing-masing propinsi berada di bawah kekuasaan seorang gubernur,
seperti Kufah berada di bawah kekuasaan Sa’ad bin Abi Waqqash. Basrah berada di bawah kekuasaan Athbah bin
Khazuan, dan Fusthath (Mesir) berada di bawah kekuasaan Amr bin Ash.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar juga mulai
ditertibkan pembayaran gaji dan pajak tanah. Berkaitan dengan masalah
perpajakan, Khalifah Umar bin Khattab membagi wilayah negara menjadi dua bagian
yaitu masyarakat muslim dan non muslim (ahlal-dzimmi) juga masyarakat non muslim yang mendapat suaka (perlindungan)
negara. Untuk warga muslim mereka wajib membayar zakat. Sedang non muslim,
mereka dikenakan Jizyah (pajak
perorangan) dan kharraj (pajak
tanah). Sementara untuk masalah hukum, khalifah menerapkan peraturan yang
berbeda. Bagi muslim diberlakukan hukum islam. Sedang non muslim diberlakukan hukum menurut agama atau adat
istiadat mereka masing-masing.
Untuk mencapai
pemerataan dalam pembangunan, khalifah Umar bin Khattab mengubah sistem
sentralisasi menjadi desentralisasi. Untuk menjaga keamanan, khalifah juga
membentuk jawatan kepolisian atau diwanal-syurthah, dan jawatan pekerjaan umum. Untuk mengelola keuangan negara,
Khalifah Umar bin Khattab membentuk lembaga keuangan yang disebut Baitul-mal. Sejak masa itu, pemerintahan
Khalifah Umar bin Khattab telah memiliki mata uang sendiri.
Kebijakan lain yang sangat monumental adalah penetapan
tahun hijriyah sebagai tahun baru umat islam. Penetapan tahun baru umat Islam
ini atas inisiatif Ali bin Abi Thalib, yang kemudian di respons oleh Khalifah
Umar bin Khattab.
Situasi sangat berbeda pada masa
pemerintahan Khalifah Usman bin Affan. Pada paruh pertama kepemimpinannya,
negara berada dalam keadaan aman, damai tenteram dan sejahtera. Karena
situasinya sangat mendukung bagi usaha melanjutkan program pemerintahan yang
dibuat pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Tetapi pada paruh
terakhir masa pemerintahannya, terjadi krisis kepercayaan yang menimbulkan konflik
berkepanjangan. Krisis kepercayaan ini timbul karena ada sekelompok oarng yang
terdiri dari keluarga dekatnya yang memanfaatkan posisi Usman bin Affan. Hal ini
kurang disadari Khalifah Usman, sehingga banyak kroni dan orang-orang
terdekatnya memamfaatkan ketulusan dan kejujuran khalifah.
Dalam
beberapa kasus, khalifah mengambil kebijakan yang kurang populer misalnya,
mengangkat para pejabat negara, seperti gubernur dari keluarganya sendiri.
Khalifah usman mengangkat Marwan bin al-hakam sebagai sekretaris Negara,
al-Walid bin Uqbah sebagai gubernur kufah, menggantikan posisi sa’ad. Al-Walid
bin Uqbah adalah saudaranya yang suka mabuk-mabukan. Selain itu, ia juga
menempatkan sepupunya, Abdullah bin Sa’ad, sebagai Gubernur Mesir, menggantikan
posisi Amr bin al-Ash. Kebijakan ini menuai protes keras dari masyarakat kufah
dan Mesir, serta para pendukung Amr bin Ash. Kebijakan lain yang menuai protes
masyarakat adalah kebijakan satu mushaf, dan menghafus mushaf-mushaf lain yang
beredar dimasyarakat. Kebijakan ini sebenarnya baik, yaitu menyeragamkan seluruh mushaf dengan mushaf
yang ada ditangan Khalifah Usman, yang sudah dibukukan sejak masa Khalifah Abu
Bakar Ash-Shiddiq.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar
bin Khattab, tanah rampasan perang menjadi milik negara, tetapi pada masa
Khalifah Usman bin Affan, tanah tersebut dibagikan. Tujuan sebenarnya baik,
agar tanah tersebut menjadi lebih produktif. Bahkan ia mengangkat juru hitung (sawafi) untuk mengusuri semua itu.
Tetapi karena situasinya tidak memungkinkan, karena tengah terjadi krisis
kepercayaan dan konflik, maka situasinya menjadi berbeda, masyarakat menolak
dan memprotes kebijakan tersebut. Penolakan dan demontrasi anti Usman ini
berujung pada peristiwa terbunuhnya Khalifah oleh orang tak dikenal.
Meskipun begitu, banyak jasa dan usaha
yang dilakukan Khalifah Usman bernilai positif. Misalnya, ia membangun angkatan
laut, sehingga pasukan Islam dapat menyeberangi lautan dan menyebarkan agama
Islam ke luar Jazirah Arabia. Selain itu, ia juga membangun jalan,
jembatan, membangun bendungan di kota Madinah agar tidak banjir
ketika musim banjir tiba.
Sebagai Khalifah keempat, tampaknya Ali
bin Abi Thalib meneruskan kebijakan yang pernah ditempuh oleh Khalifah Abu
Bakar dan Umar bin Khattab. Ia menerapkan prinsip-prinsip Baitul-mal dengan tepat, dan memutuskan untuk mengembalikan semua
tanah yang di ambil alih oleh Bani Umayah ke dalam perbendaharaan negara.
Begitu juga ia menarik semua pemberian atau hibah yang tidak memiliki dasar
hukum yang jelas yang diberikan Khalifah Usman kepada sanak keluarga Bani
Umayah.
Di samping itu, Khalifah Ali
menggantikan semua gubernur yang diangkat pada masa Usman dan tidak disukai
masyarakat. Karena ia berasumsi, bahwa selain karena para gubernur tersebut
tidak disenangi, juga mereka adalah orang yang paling bertanggung jawab atas
kerusuhan yang terjadi yang menyebabkan terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan
pada 12 Dzulhijjah tahun 35 H. Untuk itu, Khalifah Ali meminta agar gubernur
Kufah, al-Walid bin Uqbah mengundurkan diri. Begitu juga kepada Muawiyah agar
meletakkan jabatan Gubernur Syiria.
Permintaan tersebut ditolak, sehingga
ditimbul kerusuhan dan konflik berkepanjangan antara Khalifah Ali dengan para
pejabat Gubenur tersebut. Penolakan ini berjuang pada sebuah pertempuran di shiffin pada 38 H/ 657 M. Pertempuran
ini memperlemah kekuatan Khalifah Ali memperkuat posisi Muawiyah. Karena
pasukan Ali terpecah menjadi dua kelompok besar, yaitu para pengikut setia Ali
dan mereka yang menyatakan desersi atau
keluar dari barisan Ali. Mereka yang masih setia kepada khalifah Ali disebut
kelompok Syi’ah atau Syiatu Ali. Sedang mereka yang
menyebutkan desersi disebut kelompok Khawarij. Kelompok terakhir inilah yang
paling kencur melakukan gerakan untuk membunuh Khalifah Ali dan Muawiyah serta
mereka yang terlimbat dalam fakta perdamaian (tabrim) di Daumatul Jandal.
Penolakan juga datang dari kubu sahabat
nabi lainnya seperti Thallhah, Zubair dan Aisyah. Keributan antara Khalifah Ali
dengan Aisyah berujung pada pertempuran kecil yang dikenal dalam sejarah islam
dengan Waq’ah al-jamal atau Perang Unta.
Pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar, sistem pemeritahan
masih mengacu pada sistem yang pernah diterapkan
pada masa nabi Muhammad saw. Pada masa nabi sistem pemerintahan bersifat
sentralistik, dimana kekuasaan eksekutif legislafif dan yudikatif berada pada satu tangan. Akan tetapi pada
masa pemerintahan khalifah Umar
bin Khattab,
semua berdiri sendiri, bahkan terjadi sentralisasi setiap
daerah atau wilayah memiliki kewenangan untuk mengatur pemerintahan dengan mengikuti aturan yang telah ditetapkan
pemerintahan pusat. Untuk itu, khalifah Umar bin Khattab membangun jaringan l pemerintahan sipil
yang sempurna, tanpa mengikuti atau mencontoh sistem pemerintahan lain. Pada masa
pemerintahannya, terdapat dua lembaga penasehat yaitu majlis yang bersidang
atas pemberitahuan atau informasi umum, dan majlis yang hanya membahas
masalah-masalah
yang sangat penting. Selain majelis penasehat, setiap warga Negara memiliki
satu suara dalam pemerintahan Negara.
Selain itu, wilayah
Negara terdiri dari beberapa propinsi-propinsi yang memiliki otonomi penuh.
Setiap propinsi
dipimpin oleh satu orang kepala pemerintahan yang disebut amir atau gubernur . Disetiap propinsi tetap berlaku
adat setempat selama
tidak bertentangan dengan aturan pemerintahan pusat. Para gubernur dan para
distrik sering dianggkat melalui pemilihan. Pemerintahan khalifah Umar bin Khattab menjamin hak- hak warga Negara dan
mereka bebas menggunakannya. Khalifah tidak memberikan hak istimewa tertentu
kepada siapa pun dari warga Negara yang ada. Bahkan tidak seorang pun mendapat
pengawal. Baik untuk khalifah maupun para pejabat lainnya. Hal itu dilakukan
agar tidak ada perbedaan antara pengguasa dengan rakyat biasa. Selain itu
setiap waktu masyarakat dapat bertemu dengan khalifah.
Untuk memperlancar jalannya roda
pemerintahan, khalifah membentuk beberapa lembaga atau organisasi
ketatanegaraan yang didasari atas hasil pemikiran dan ihtijad khalifah umar bin
khattab. Organisasi organisasi tersebut antara lain misalnya;
1. Pembentukan lembaga politik (al nidham
al-siyasiyah) yang meliputi ;
a) Al khilafah . system ini terkait dengan
sistem
pemilihan khalifah.
b) Al- wizaryah . para wazir atau mentri
yang membantu khalifah dalam urusan pemerintahan .
c) Al-kitabah . sistem ini terkait
dengan masalah pengangkatan seseorang untuk menjabat di seketariat Negara.
2. Al-
Nidham
al- hidari. Yaitu sistem
pemerintahan yang berkaitan dengan tata
usaha administrasi Negara .
3. Al-
Nidham
al-maly, organisasi keuangan Negara. Lembaga ini mengelola masuk keluarnya uang
Negara. Untuk itu dibentuk baitul mal
4. Al-Nidham al-harby, yaitu
sistem
pemerintahan yang berkaitan dengan masalah ketentaraan. Organisasi ini
menggurusi masalahnya ketentaraan , masalah gaji,tentara,urusan persenjataan,pengadaan
asrama asrama dan benteng-benteng pertahanaan.
5. Al-Aidham al-qodhai , yaitu sistem yang berkaitan
dengan masalah kehakiman, yang meliputi masalah pengadilan, pengadilan banding
dan pengadilan damai.
Selama periode kepemimpinan khulafaur rasyidin,
banyak usaha perluasan wilayah dalam rangka pengembangan islam. Pada masa
khalifah abu bakar ash shiddiq terjadi perluasan wilayah isalam ke irak dan
persia.
Pada tahun ke 12 H , khalifah abu bakar
mengirimkan pasukan ke irak yang dibawah pimpinan khalid bin al walid, dibantu
oleh Al mutsanna bin Haritsah dan Qa’qa bin amr. Wilayah irak pada waktu itu
merupakan daerah jajahan kerajaan persia. daerah-daerah yang di taklukan Kholid
bin al walid pada waktu itu adalah mazar, walajah, Allis, Hirrah, anbar,
ainu-tamar dan daumatul jandal.
Selain irak dan persia, khalifah
abu bakar juga mengirimkan pasukan
kewilayah syiria. Untuk menaklukan daerah ini, khalifah Abu Bakar mempercayakan
kepada panglima perang usamah bin zaid bin haritsah. Sebenarnya pasukan ini
telah dipersiapkan sebelumnya pada masa Rasullah saw, tetapi belum terlaksana
karena kemudian rasullullah wafat, sehingga kegiatan tersebut sempat tertunda.
Penaklukan wilayah ini baru dilakukan pada masa pemerintahan khalifah abu
bakar. Pasukan usamah mulai bergerak dari negeri Qudha’ah,lalu memasuki kota
abil. Dalam peperangan ini, pasukan usamah mendapat kemenangan yang gemilang.
Sehingga wilayah itu jatuh kepada tangan kekuasaan islam.
Selain usamah bin zaid,
khalifah juga mengirim pasukan lainnya kewilayah palestina di bawah kemando
ubaidah bin jarah. Ke damaskus, di pimpin oleh yazid bin muawiyah. Ke yordania
di pimoin oleh syuroh bil bin hasanah. Untuk menghadapi pasukan besar islam
ini, Heraclius mengirim sekitar 240 ribu tentara tentara ke daerah-daerah
kekuasaan nya di syiria,palestina,damaskus dan sebagainya. Untuk mnghadapi
kekuatan besar ini, umat islam bersatu dalam satu barisan kekuatan besar.
Penyatuan ini dilakukan atas usulan yang diajukan khlid bin al
walid dan mendapat persetujuan Khalifah abu bakar. Akhirnya kedua pasukan besar
besar itu, yakni pasukan islam dan pasukan Heraclius, bertemu disalah satu
tempat bernama Yarmuk. Sehingga pertempuran itu disebut peperangan
Yarmuk.
Dalam pertempuran kali ini ,kekuatan islam tidak sebanding
dengan kekuatan yang dimiliki Heraclius, yaitu sekitar 30.000 s ampai 40.000
pasukan, sehingga peperangan ini berjalan cukup lama dan baru berakhir pada
masa pemerintahan umar bin khattab.
Pada masa pemerintahan khalifah umar bin khattab, terjadi
juga usaha perluasan wilayah islam. Usaha tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1.
Perluasan
Wilayah Islam ke Syiria dan Palestina
Sebelum masuk kewilayah kekuasaan islam, Syiria dan
Palestina berada dalam situasi yang sangat memprihatinkan,karena masyarakatnya
selalu dibebani dengan berbagai pungutan dan pajak yang harus mereka bayar
kepada pemerintahan kekaisaran Byzantium (Romawi timur). Hal
ini tentu saja membuat rakyatnya menderita.
Selain
itu, mereka dipaksa untuk mengikuti
aliran agama yang tidak sepaham dengan mazhab yang dianut oleh kebanyakan
masyarakat syiria dan palestina. Para penguasa Byzantium memaksakan kehendaknya
agar masyarakat yang berada di wilayah kekuasaannya mengikuti mazhab Kristen
nestroit yang menganut ajaran Trinitas, sedangkan mayoritas masyarakat syiria
dan palestina menganut mazhab Jacobit yang menganut paham monofisit, yaitu
percaya hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Keadaan
tersebut membuat masyarakat syiria dan palestina menanti kehadiran sang pembela
yang akan membebaskan mereka dari cengkeraman penjajah dari Byzantium tersebut.
Untuk itulah pengiriman pasukan syiria dan palestina sangat diprlukan. Sehingga
kedua kota tersebut dapat di taklukkan pada masa pemerintahan Khalifah
Umar Bin khattab.
Setelah
kemengan umat islam dalam pertempuran Yarmuk pada tahun 13 H, Abu ubaidah bin
jarrah mencoba menaklukkan beberapa wilayah di syiria dan palestina. Setahun kemudian, yaitu pada tahun14 H Damaskus dapat dikuasai. Pada tahun 1 H tentara
islam di bawah pimpinan Amr bin Ash dapat menaklukkan tentara romawi di
Ajnadin. Secara berturut turut beberapa kota di
sekitar syiria dan palestina juga dikuasai, seperti Baitul maqdis dikuasai umat
islam pada tahun 18 H. Dengan jatuhnya baitul maqdis maka seluruh wilayah
syiria dan palestina berada di bawah wilayah kekuasaan islam.
2.
Perluasan
Wilayah Islam ke Irak dan Persia
Setelah
syiria dan palestina dapat di kuasai, maka khalifah umar bin khattab
melanjutkan usahanya untuk memperluas pengaruh islam ke irak dan Persia. Sebenarnya Urak sudah dapat dikuasai oleh
tentara islam pada masa pemerintahan abu bakar dibawah komando panglima Khalid
bin al walid. Tetapi, ketika pasukan Khalid meninggalkan irak dan membantu
pasukan islam lainnya di syiria, kesempatan
itu dipergunakan oleh orang-orang
Persia untuk mengusir umat islam keluar dari irak dibawah pimpinan panglima
rustum. Oleh karena itu, umar mengirim sa’ad bin abi waqqash untuk mendudukkan
kembali irak dan Persia. setelah melalui peperangan yang dahsyat, akhirnya irak
dan Persia dapat dikuasi kembali pada tahun 21 H, dalam peang nahawand, qodisia
kemudian juga di taklukkan.
Jatuhnya
Qodisia
merupakan pertanda kemengan besar bagi tentara islam, karena kota ini merupakan
pusat pertahanan terakhir tentara yazdazrid, kisra Persia. Sejak itu
perkembangan islam di Persia semakin maju, karena
semua masyarakatnya telah memiliki peradaban yang cukup tinggi dan mereka
memadukannya dengan ajaran islam yang telah mereka anut.
3.
Perluasan Wilayah
Islam
ke Mesir
Ternyata
beban beat yang harus dipikul akibat penjajahan
bangsa romawi timur tidak hanya menimpa penduduk syiria dan palestina,
juga menimpa pennnduduk mesir. Mereka merasa tersiksa karena tekanan
pemerintahn Byzantiumyang mengharuskan seluruh penduduk ,mesir membayar pajak
melampui batas kemampuannya, selain dari perbenturan antara ideology agama yang
dianut penguasa dengan yang dianut masyarakat.
Karena
mereka tidak tahan atas perlakuan semena-mena dan tidak manusiawi seperti itulah, kemudian
mereka meminta bantuan kepada penguasa muslim di Madinah. Untuk itu khalifah umar bin
khattab pada tahun ke 18 H, atau 639 M memerintahkan pasukan muslim yang sedang
berada dipalestina untuk melanjutkan perjalanannya ke Mesir. Pasukan itu
berada di bawah komando Amr bin ash yang memimpin 4000 tentara . Amr bin al-Ash dan pasukan nya
memasuki wilayah Mesir
melalui selat wadi al-Arish. Setelah menaklukkan beberapa kota kecil, akhirnya ia menaklukkan
kota fashthat setelah mengadangan pengepungan terhadap kota tersebut selama
kurang lebih 7 bulan.
Pada
masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan , terjadi pula pengembangan
kekuasaan islam. Diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Perluasan Khurasan
Khalifah
Usman bin Affan mengutus Sa’ad bin ‘Ash bersama Huzaimah bin Yaman untuk
memimpin pasukan Islam Khurasan. Di dalam rombongan pasukan ini ikut pula
beberapa orang sahabat Nabi saw. Yang lain. Setelah terjadi pertempuran sengit,
akhirnya Khurasan dapat dikuasai.
b. Perluasan ke Armenia
Khalifah
Usman bin Affan mengutus Salam Rabiah al-Bahly untuk berdakwah ke Armenia. Ia
berhasil mengajak kerjasama dengan penduduk Armenia untuk menerima ajaran
Islam. Namun begitu, ia juga banyak mendapat tantangan dari mereka yang tidak
suka atas dakwah Islam yang dikembangkannya. Tetapi semua itu dapat diatasi
dengan cara memerangi mereka hingga mereka menyatakan tunduk dibawah pemerintahan
Islam.
c. Perluasan Islam ke Afrika Utara
(Tunisia)
Afrika
Utara sebelum kedatangan Islam merupakan satu wilayah yang berada di bawah
kekuasaan bangsa Romawi. Perlakuan para penjajah terhadap penduduk tidak
menyenangkan, akhirnya mereka meminta bantuan kepada pemerintahan Islam di
Madinah. Untuk itu, Khalifah Usman bin Affan mengirim Abdullah bin Sa’ad bin
Abi Sa’ad bin Abi Sarah untuk memimpin pasukan menaklukan Afrika Utara dan
mengusir bangsa Romawi. Pasukan Islam
mendapat simpati dan dukungan yang kuat dari masyarakat setempat, sehingga
bangsa Romawi dapat dikalahkan. Dengan jatuhnya wilayah Afrika Utara, berarti
wilayah itu berada di bawah kekuasan Islam.
d. Penaklukan Ray dan Azarbeijan
Pada
masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Masyarakat Azarbeijan selalu
membayar pajak, tetapi pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan banyak
di antara mereka yang menolak membayar pajak, bahkan banyak di antara mereka
yang membangkang dan memberontak terhadap pemerintahan Islam di Madinah. Untuk
mengatasi hal itu, Khalifah Usman bin Affan memerintahkan Walid bin Uqbah yang
kala itu menjabat sebagai Gubernur Kufah untuk memberantas para perusuh
tersebut. Walid bin Uqbah mengerahkan 6000 pasukan untuk mengepung penduduk
Azarbeijan dan 4000 pasukan ke Ray. Dengan kekuatan besar ini, akhirnya kedua
wilayah pemberontak dapat dikuasai.
Sedang
pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib, tidak terjadi usaha
perluasan wilayah kekuasaan Islam. Karena selama masa – masa kepemimpinannya,
selalu dihadapkan pada persoalan dan konflik internal berkepanjangan hingga
akhir hayatnya. Khalifah Ali hanya berusaha mempertahankan wilayah kekuasaan
yang ada supaya tetap utuh berada di bawah kekuasaan pemerintah Islam.
Meskipun
begitu, terdapat perkembangan yang cukup bagus, terutama dalam bidang ilmu
bahasa dan sastra Arab. Pada masa ini uncul seorang tata bahasa Arab (ilmu
nahwu), yaitu Abul Aswad ad-Du’ali.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dalam catatan sejarah Islam klasik, persoalan
pertama yang muncul dan menjadi masalah besar setelah wafatnya Rasulullah Saw
adalah soal suksesi. Persoalan ini muncul karena sejak awal kepemimpinan Nabi
Muhammad hingga akhir hayatnya, beliau tidak memberikan isyarat atau menunjuk
kira-kira siapa yang akan menggantikan posisinya
sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara. Persoalan ini sepenuhnya
diserahkan kepada masyarakat muslim untuk melakukan proses pemilihan setelahnya
dengan mekanisme yang didasari oleh prinsip Syura. Dengan mekanisme dan prinsip
Syura (musyawarah), akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai pengganti jabatan
Nabi Muhammad Saw. Metode pemilihan pemimpin seperti itu terus berlanjut hingga
pemilihan khalifah berikutnya, yaitu Umar bin Khattab, Usman bin Afffan dan Ali
bin Abi Thalib. Kepemimpinan para sahabat yang empat ini dikenal dengan
Khuafaur Rasyidin, yang berlangsung selama 30 tahun.
Masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin merupakan masa yang sangat
penting dalam perjalanan sejarah umat Islam. Karena pada masa ini terjadi kemajuan yanng cukup signifikan.
Ø Pada
paruh pertama pemerintahan Khalifah
Abu bakar, pergolakan sosial terjadi karena munculnya kelompok pembangkang yang
terdiri dari para nabi palsu, mereka yng
menolak membayar zakat dan gerakan kaum murtad. Semua itu dapat diselesaikan dengan
baik oleh khalifah Abu Bakar.
Ø Pada
paruh kedua, yaitu kepemimpinan Khalifah
Umar bin Khattab, pada masa ini kehidupan sosial dan politik cukup aman dan damai.
Sehingga dimanfaatkan untuk membangun sistem pemerintahan negara agar lebih
efektif dan efisien.
Ø Pada
paruh ketiga yaitu kepemimpinan
Khalifah Usman bin Affan, pada paruh pertama kepemimpinannya, negara berada dalam keadaan aman, damai, tentram dan
sejahtera. Tetapi
pada paruh terakhir masa pemerintahannya, terjadi krisis kepercayaan yang
menimbulkan konflik berkepanjangan. Krisis kepercayaan ini timbul karena ada
sekelompok oarng yang terdiri dari keluarga dekatnya yang memamfaatkan posisi
Usman bin Affan. Hal ini kurang disadari Khalifah Usman, sehingga banyak kroni
dan orang-orang terdekatnya memamfaatkan ketulusan dan kejujuran khalifah.
Ø Pada paruh akhir kepemimpinan Khulafaur Rasyidin dipegang oleh Ali bin Abi
Thalib. Ali bin Abi Thalib diangkat oleh jamaah umat Islam dan sebagian besar
adalah pemberontak. Dalam situasi seperti itu, harus ada tindakan nyata untuk
mengatasi krisis kepemimpinan. Akan tetapi, tidak ada seorang pun ketika itu
yang mau diangkat menjadi khalifah, selagi Ali bin Abi Thalib masih hidup.
Dengan demikian, proses pemilihan dan pengangkatan Ali bin Abi Thalib sangat
berbeda dengan proses pemilihan
sebelumnya. Akan tetapi, ada satu hal penting yang perlu dicatat, bahwa para
sahabat lain masih menganggap Ali sebagai tokoh penting. Karena itu, mereka
kemudian menyetujui proses pemilihan tersebut, meski ada beberapa sahabat yang
tidak malakukan bai’at, karena tengah berada di luar kota Madinah.
2.
Saran
Sebagai umat islam yang
baik maka seharusnya kita mengetahui dan meneruskan kepemimpinan umat islam
pasca meninggalnya Rasulullah Saw. Dengan demikian kita akan mampu memperkuat
keimanan dalam rangka mendapat rido Allah SWT.